Maklah Pembagian Periode Tasyri' Dari Abad Rasullullah Hingga Pada Abad Sekarang
A. Tasyri’ pada masa Nabi
Allah SWT, mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti sehabis Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung hingga beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya[1].
1. Syari’at pada masa kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah sanggup di sebutse juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan aturan Syari’at Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut.
a. Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqh Islam pada masa ini
b. Setiap syari’at (undang-undang) yng tiba sehabis zaman ini semua nya merujuk kepaada manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW dalam meng-istimbatkan aturan syar’i
c. Priode-priode sehabis kurun kerasulan (sepeninggalan Rasulullah SAW) tidak membawa yang sesuatu yang gres dalam fiqh dan syari’at Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah gres atau kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman rasulullah.
2. Rentang waktu fase pendirian dan pembentukan Hukum syari’at Islam pada masa kerasulan
Fase ini dimulai semenjak diutusnya Rasulullah pada tahun 610M hingga wafat baginda Rasulullah SAW pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini berlangsung selama 23 tahun.
Para ulama memakai dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan Islam, di antara mereka ada yang mengakibatkan pembagian Syari’at Islam sama menyerupai perkembangan insan dari segi tahapan perkembangan, insan mengalami zaman kanak-kanak, pintar balig cukup akal dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syari’at Islam dalam perkembangan perjalanannya
Tasyri’ pada masa Nabi di sebut masa pembentukan aturan (al-insya’ al-takwain), lantaran pada masa dia inilah mulai tumbuh dan terbentuknya aturan Islam, yaitu tepatnya ketika Nabi hijrah ke Madinah dan memutuskan di sana selama 10 tahun. Sumber asasinya ialah wahyu., baik Al-Qur’an maupun sunnah Nabi yang terbimbing dengan wahyu. Semua aturan dan keputusan-Nya di dasarkan pada wahyu. Masa ini sekalipun singkat, tetapi sangat menentukan untuk perkembangan aturan dan keputusan aturan berikutnya.
Sumber atau kekuasaan tasyri’ pada priode ini dipegang oleh Rasulullah sendiri dan tidak sorang pun yang boleh menentukan aturan suatu masalah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Dengan adanya Rasulullah di tengah-tengah mereka serta dengan mudahnya mereka mengembalikan setiap kasus kepada beliau, maka tidak seorang pun dari mereka yang berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri. Bahkan jikalau mereka dalam menghadapi suatu insiden atau terjadi persengketaan, mereka eksklusif mengembalikan problem itu kepada Rasulullah dan beliaulah yang selanjutnya akan menunjukkan fatwa kepada mereka, menuntaskan sengketa, dan menjawab pertanyaan dari kasus yang mereka tanyakan.
Berbicara mengenai tasyri’ pada masa Nabi, masa ini mempunyai karakteristik sebagai berikut.
a. Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’saat itu hanya Rasulullah sendiri, alasannya Allah telah memilihnya untuk memberikan risalah kepada seluruh umat manusia.
يايها الرسول بلغ ما انزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسلتة والله يعصمك من الناس إن الله لا يهد ى القوم الكفرين
Hai rasul, sampaikan apa yang di turunkan kepadamu dari rabb-mu. Dan jikalau tidak kau kerjakan (apa yang di perintahkan itu, berarti) kau tidak memberikan amanat-Nya. Allah memelihara kau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya, Allah tidk memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(QS. Al-Mai’dah (5) : 67)
b. Syari’at Islam telah tepat hukumnya dan telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya (QS. Al-Maidah (5) : 3 )
اليوم أكملت لكم د ينكم وأتممتم عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلم دينا
Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kau agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah-Ku ridhai Islam itu jadi agamamu
(QS.Al-Maidah (5) :3)
c. Kitabullah dan sunnah Rasul memuat beberapa kaidah dan dasar yang kokoh serta membuka pintu ijtihad.
Masa Nabi ialah masa turunnya Al-Qur’an dan masa terbentuknya hadits Nabawi. Kaduanya terbentuk semenjak dia di angkat menjadi Rasul, yaitu ketika berusia 40 tahun hingga wafatnya pada usia 63 tahun.
Fase ini bermula pada ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-qur’an ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada jum’at 17 ramadhan tahun 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah di Mekkah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketik dia berada di Madinah dan di tempat-tempat lain sehabis hijrah selama sepuluh tahun, hingga baginda Rasulullah wafat tahun 11 hijriah.
Terkadang wahyu turun kepada baginda Rasulullah dalam bentuk Al-qur’an yang merupakan Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah atau yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan Islam di menetapkan dan di tentukan.
Atas dasar ini perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami dua priode istimewa, yaitu periode legislasi aturan syari’at di Mekkah yang di namakan perundang-undang kurun Mekkah (at-tasyi’ al-makki). Dan priode legislagi aturan syari’at di Madinah sehabis hijrah yang kemudian di sebut perundang-undang kurun Madinah (at-tasyri’ al-madani).
Mengingat masing-masing kurun mempunyai keistimewaan sendiri dalam tata cara regulasi dan perundang-undangan dan cara penyelesaiannya maka perlu kiranya kami jelaskan satu persatu sebagai berikut:
a. Tasyri’ pada priode Mekkah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah bertahap turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, menyerupai iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia menyerupai keadilan, kebersamaan, menepati kesepakatan dan menjauhi kerusakan adab menyerupai zina, pembunuhan dan penipuan[2].
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki doktrin , lantaran doktrin merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka semoga mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka semoga membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari dampak kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya menyerupai pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka semoga memakai nalar pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya semoga mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka semoga tidak berpaling dengan anutan para Nabi, semoga tidak tertimpa azab menyerupai apa yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
Oleh alasannya itu, wahyu pada priode ini turun untuk menunjukkan petunjuk dan isyarat kepada insan kepada dua kasus utama :
1. Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah SWT dan bukan untuk yang lain, beriman kepada Malaikat, kitab-kitab, rasul, dan hari akhir. Semua ini bersumber dari Al-qur’an yang kemudian di jelaskan dalam beberapa ayat
2. Memebentuk Akhlak semoga insan mempunyai sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat tercela. Al-qur’an yang tercela. Al-qur’an memerintah mereka semoga berkata jujur, amanah, menepati janji, adil, saling tolong menolong atas dasar kebajikan, memuliakan tetangga, menyayangi fakir miskin, menolong yang lemah dan terzalimi. Selain itu jugA Al-qur’an juga melarang mereka dari Akhlak tercela menyerupai berdusta, menipu, curang, dalam timbangan, mengingkari janji, berbuat zalim, dan aniaya serta prilaku lain yang dianggap malampaui batas dan menyimpang dari etika kebiasaan[3].
Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga secara umum dikuasai kasus Ibadah belum disyariatkan kecuali sehabis hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi doktrin untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang mengakibatkan anutan Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
1. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laris lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu anutan tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
2. Ajaran Islam mengecam sikap ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekkah makmur lantaran letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan hingga utara dan mediteranian, teluk Persia, maritim merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah ialah salah satu sentra perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
b. Tasyri’ pada priode Madinah
Priode ini berlangsung semenjak hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah hingga dia wafat. Priode ini berjalan selama 10 tahun. Dalam priode ini, Islam benar-benar telah tegak dengan kuantitas pengikut yang besar dan mempunyai pemerintahan sendiri. Kebutuhan pembentuka aturan dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah keniscayaan untuk mengatur korelasi internal, eksternal, baik dalam keadaan perang maupun damai[4].
Perundang-undangan aturan Islam pada priode ini menitikberatkan pada aspek aturan alasannya itu, perlu adanya perundang-undangan yang mengatur kondisi masyarakat dari setiap aspek, satu persatu ia turun sebagai balasan terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Sebelum zaman ini mencapai tahap kesempurnaannya, ia telah mencakupi semua dimensi perbuatan dan semua permasalahan yang terjadi. Tidak ada satu aspek pun kecuali sudah di atur dan di jelaskan hukumnya, baik secara global maupun terinci dan inilah yang di tegaskan oleh Al-qur’an dalam firmah Allah :
اليوم أكملت لكم د ينكم وأتممتم عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلم دينا
Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kau agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah-Ku ridhai Islam itu jadi agamamu
(QS.Al-Maidah (5) ; 3)
Secara umum, semua aturan baik yang berupa perintah maupun larangan kepada para mukallaf turun pada fase ini kecuali hanya sedikit, menyerupai aturan shalat yang diturunkan pada waktu malam Isra’ Mi’raj satu tahun sebelum baginda berhijrah ke Madinah, selain yang ini berupa ibadah, jinayah, hudud, warisan, wasiat, pernikahan, dan talak semuanya turun pada fase ini.
B. Wewenang pembentukan aturan dalam periode ini
Dalam periode ini, wewenang pembentukan aturan sepenuhnya berada di tangan Rasul. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau sendiri yang eksklusif memberikan fatwa hukum, meneyelesaikan sengketa, dan menjawab banyak sekali pertanyaan. Keputusan aturan tersebut adakala dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, dan adakala dia berijtihad. Apa yang tiba dari Rasul menjadi aturan bagai kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad dia sendiri.
Namun ini bukan berarti pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi selain Rasul. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagaian sahabat telah berijtihad di masa hidup Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib diberi isyarat oleh Nabi cara memutuskan aturan ketika diutus ke Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum diutus ke Yaman pernah ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan mengambil keputusan, apabila dihadapkan kepadamu suatu kasus yang tidak engkau temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”.Rasul kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Amr bin Ash pada suatu hari pernah diperintah oleh Nabi dengan sabdanya: ”Putuskanlah kasus ini!” . Amr bertanya: ”Apakah akau akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya Rasulullah?”. Rasul menjawab:“Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala.”
Meskipun demikian, kewenangan para sahabat untuk berijtihad ialah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka tasyri (pembentukan / pembuatan hukum). Di samping itu hasil ijtihad para sahabat perihal suatu kasus tidaklah menjadi ketetapan aturan bagi kaum muslimin secara umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari Rasul.
C. Sumber tasyri’ pada fase kerasulan
Sumber perundang-undangan aturan Islam (tasyri’) pada fase ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi Allah. Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu Al-qur’an, dan wahyu yang tidak di baca, yaitu sunnah Nabawiyyah.
a. Al-qur’an Al-karim
Al-qur’an Al-karim ialah kalam Allah yang di turunkan kepada Muhammad SAW dianggap ibadah membacanya, diawali dengan surah Al-fatihah dan di tutup dengan surah An-nash. Al-quran merupakan sumber pertama dan utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi semua anutan pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan.
Perundang-perundangan lain tiba secara global, tidak terperinci, dan hanya skeptis kecuali dalam beberapa kasus yang memang membawa kemaslahatan yang tetap dan tidak berubah oleh zaman dan kawasan menyerupai aturan warisan, aturan keluarga secara umum dan selain yang di atas semuanya hanya bersifat umumdan kaidah global yang sanggup di peraktikkan ketika insan menghadapi sutu permasalahan dalam kehidupan mereka semoga terasa mudah, dan supaya perundang-undangan itu sendiri sesuai dengan setiap keadaan dan perubahan.
Hikmah Allah menerapkan bahwa Al-qur’an tidak turun kepada Rasulullah sekaligus, namun turun secara berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan peroblematika terjadi. Selain itu Al-qur’an juga tidak turun dengan jumlah ayat yang terbatas namun ia turun berbeda-beda, terkadang ia turun dalam satu surah secara tepat dan terkadang hanya 10 ayat, atau 5 ayat atau bahkan hanya 1 ayat.
Orang-orang kafir pernah menentang Rasulullah SAW perihal cara Al-qur’an turun secara berangsur-angsur dan meminta kepada baginda semoga di turunkan sekaligus sebagaimana Allah menurunkan Alkitab dan Taurat, kemudian turunlah firman Allah :
وقال الذين كفروالولا نزل عليه القرءان جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلنه ترتيل
Berkatalah orang-orang kafir :” Mengapa Al-qur’an itu tidak di turunkan kepadanya sekali turun saja” Demikian supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS.Al-fuqan (25): 32)
Allah menurunkan Al-qur’an secara berangsur-angsur dengan beberapa alasan,antara lain sebagai berikut.
1. Mengokohkan hati Rasulullah khususnya, apalagi baginda merasa takut ketika pertama kali bertemu dengan Jibril, sehabis itu wahyu terputus beberapa waktu sehingga hayi baginda menjadi tenang dan ada rasa rindu dengan wahyu. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: Agar kami mengokohkan hatimu.
2. Memudahkan bagi Nabi untuk menghafal alasannya baginda ialah orang yang ummi, tidak sanggup membaca dan menulis, berbeda dengan Nabi Musa yang sanggup membaca dan menulis sehingga gampang baginya untuk menghafal taurat, Allah berfirman: janganlah engkau gerakkan lisanmu semoga engkau cepat (menghafal, bekerjsama kamilah yang mengumpulkan dan membacanya jikalau kami sudah membacanya maka ikutilah bacaannya, dan kami yang akan menjelaskannya.
3. Mempermudah proses regulasi perundang-undangan sesuai dengan jumlah syari’at yang turun, alasannya pada sebagian keadaan Al-qur’an turun sebagai balasan atas pernyataan yang diajukan, insiden yang muncul atau adanya kasus dan fatwa.
4. Merealisasikan tujuan dari nasakh, yaitu bertahap dalam pensyariatan, alasannya sebagian dari substansi perundang-undangan ialah memutuskan aturan untuk pertama kali kemudian menghapusnya sehabis itu dengan aturan yang lain sehabis berjalan beberapa waktu semoga insan sanggup melaksanakannya secara bertahap sesuai dengan kemaslahatan mereka.
5. Memberikan akomodasi empeti kepada hamba dengan menurunkan wahyu secara berangsur-angsur, gampang untuk diamalkan dan ini mustahil terjadi jikalau Al-qur’an turun sekaligus, banyak taklif, susah untuk diamalkan terutama mereka yang gres masuk Islam lantaran sebelumnya mereka hidup di alam serba boleh sebelum diutusnya baginda Rasulullah
b. As-Sunnah An-Nabawiyah
As-Sunnah An-Nabawiyah ialah setiap yang keluar dari Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan selain dari Al-qur’an. As-Sunnah menempati urutan kedua sehabis Al-qur’an lantaran ia menjadi penguat, penjelas, penafsir, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada di dalam Al-qur’an. Karena Rasulullah sebagai pengatur segala urusan kaum muslimin selain sebagai seorang Nabi yang mendapat perintah untuk memberikan syari’at Allah kepada seluruh manusia, maka baginda juga mendapat mandat untuk menjelaskan syari’at secara umum yang akan mengatur kehidupan umat pada setiap waktu dan tempat.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan secara global sebagaimana firman Allah: Dan dirikan shalat. Ini ialah nash global dalam pensyariatan shalat, sedangkan dari segi waktu, jumlah rakaat, dan rukunnya semuanya di jelaskan oleh As-Sunnah dengan sabda Rasulullah : Shlatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As- Sunnah terkadang tiba menjelaskan aturan Islam sesuatu yang didiamkan oleh Al-qur’an, hal ini juga sanggup dilihat dalam banyak masalah, diantaranya keharaman menggabungkan (memadukan) antara seorang perempuan dengan bibinya (baik dari garis bapak maupun ibu). Hal ini di nyatakan Rasulullah dalam sabda:
لا يجمع الرجل بيت المرأة وعمتها ولا بينها وبين خالتها
Tidak boleh seorang suami memadu antara seorang perempuan dengan bibinya ( dari garis bapak) dan juga dihentikan antara seorang perempuan dengan bibinya ( dari garis ibu).
Ketentuan ini sebelumnya tidak diterangkan di dalam Al-qur’an. As-Sunnah jn cuga tiba sebagai penegas terhadap aturan yang ada dalam Al-qur’an menyerupai haramnya mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan cara batil.
D. Metode pensyariatan pada fase Rasulullah
Nabi Muhammad memberikan syari’at (perundang-undangan) pada fase ini melalui beberapa cara, di antaranya:
1. Memberikan ketentuan aturan terhadap permasalahan atau insiden yang muncul atau ditanyakan oleh para sahabat, kemudian baginda memberi balasan terkadang dengan satu ayat atau beberapa ayat dari Al-qur’an yang memang turun sebagai jawabannya, dan tidak ada ayat yang lebih terperinci lagi dari turunnya beberapa ayat yang menjelaskan perihal balasan dari pertanyaan yang diajukan kepada baginda sebagaimana firman Allah :
يسئلو نك ماذا ينفقون قل ما انفقتم من خير فللولدين والأقربون واليتمى والمسكين وابن السبيل وما تفعلوا من خير فإن الله به عليم
Mereka bertanya perihal apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “apa saja harta yang harus kau nafkahkan hendaklah berikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, belum dewasa yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kau buat, maka bekerjsama Allah Maha Mengetahuinya.
2. Terkadang Rasulullah SAW memberi balasan dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “ kami menyeberangi lautan apakah kami boleh berwudhu’ dengan air maritim ? Baginda Rasulullah menjawab “ia suci airnya dan halal bangkainya.”
Dalam hadits lain, Jarir bin Abdillah bertanya perihal memandang perempuan bukan muhrim tanpa sengaja, Rasulullah pun menjawab “jauhkanlah pandanganmu” dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda prihal haji. ”Ambillah dari ku tata cara manasik kalian.”
E. Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan Ijtihad Nabi ialah mengeluarkan aturan syariat yang tidak ada Nash-nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasulullah berijtihad ke dalam dua kelompok besa[5]r:
Pertama, kalangan Asy’ariyah dari hebat sunnah dan secara umum dikuasai bu’tazilah. Mereka berpegang teguh bahwa Nabi dihentikan berijtihad sendiri. Di antara dalil yang mereka gunakan ialah firman Allah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ اِ لَّا وَحْىٌ يُوْحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu berdasarkan kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan. (QS.An-Najm(53) : 3-4)
Ayat ini menafikan bahwa baginda Rasulullah memutuskan sebuah Hukum berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu perihal itu lantaran setiap permasalahan yang muncul, baginda selalu berharap adawahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka itu pasti benar dan tidak ada yang salah dan jikalau baginda berijtihad ada kemungkinan benar atau salah, dan jikalau memang ia benar atau lebih akrab kepada kebenaran maka dihentikan di tinggalkan kemudian mengamalkan yang masih belum pasti selama yang pertama masih sanggup di amalkan.
Seandainya kita setuju ada makna umum, maka bahwanya Nabi tidak sama dengan ijtihadnya orang lain lantaran ia juga akan berakhir dengan wahyu lantaran jikalau baginda tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan jikalau salah maka wahyu akan selalu mengarahkannya.
Kedua, secara umum dikuasai ulama ushul mengatkan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua kasus yang tidak ada nash-nya, dalil mereka:
Nabi Muhammad di perintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah: “Maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”. Artinya, bandingkan antara insiden yang sudah ada hukumnya; jikalau ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini ialah salah satu bentuk ijtihad.
Nabi Muhammad sangat mengetahui illat-illat ( sebab-sebab) setiap nash dan pesan tersirat dari setiap pensyariatan, dan setiap orang yang mengetahui hal ini harusnya menerapkan nya untuk kasus furu’ yang ada kemiripan alasan, dan pekerjaan ini ialah memutuskan aturan pada kasus dasar untuk kasus cabang dan inilah yang dinamakan qiyas dan ini juga ialah ijithad dan dengan begitu maka boleh bagi baginda Rasulullah untuk berijtihad.
Fakta juga menunjukan bahwa rasulullah pernah melaksanakan ijtihad dalam banyak kejadian, di antaranya bahwa ada seorang lelaki dari kabilah ju’tsum tiba kepada baginda dan berkata, “ayah saya masuk islam, namun ia sudah sangat tua, tidak sanggup menaiki kendaraan dan melaksanakan haji yang di wajibkan kepadanya, apakah saya boleh menghajikannya?” Baginda menjawab,” Apakah kau anaknya yang paling besar?” Ia menjawab,” Ya. “ Baginda menjawab, ”Apakah yang akan kau lakukan jikalau ayahmu ada hutang , kemudian kau membayarnya apakah boleh ? “ Ia menjawab tentu “ Nabi bersabda “Hajikan ayahmu” Rasulullah di sini meng-qiyas-kan haji dengan utang untuk di wakilkan pelaksanaannya.
Ada sejumlah riwayat dari baginda Rasulullah yang menjelaskan bahwa dia di beri hak untuk menentukan dalam beberapa kejadia:
1. Sabda Rasulullah : Seandainya tidak terlalu memberatkan umatku., pasti akan au perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shlat. Hadits ini menerangkan bahwa baginda telah meletakkan suatu aturan kepadanya, selain itu hadits ini menjelaskan seandainya tidak ada kepadanya, selain itu hadits ini menjelaskan seandainya tidak ada musyaqqah (kesusahan) dalam peraktik pelaksanaan siwak setiap jelang shalat pada diri kaum muslimin.
2. Sabda Rasulullah : kalau bukan lantaran kaummu masih akrab dengan zaman kekufuran pastilah saya mendirikan ka’bah sesuai dengan bangunan Ibrahim. Hadits ini menjelaskan bahwa baginda si beri pilihan dalam sebagian urusan, di antaranya dalam menghadapi kasus yang satu ini
Dari sini terperinci bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam kasus yang tidak ada nashnya, dan semua ijtihad ini di kelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jikalau baginda salah salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja tetapi akan meluruskannya alasannya yang dibawa Rasulullah ialah Syariat bagi umatnya, maka perlu ada peringatan dari wahyu terhadap kesalahan tersebut dan menjelaskan yang benar semoga menjadi sebuah syariat yang sanggup mereka amalkan.
F. Hikmah dari ijtihad Nabi
Lahirnya ijtihad Nabi di latar belakangi sebuah aturan yang mulia dan tujuan yang mulia yang sanggup di ringkas sebagai berikut.
1. Syariat Islam ialah epilog semua syariat langit, tidak ada lagi syariat sehabis itu, tidak ada kitab suci, ataupun wahyu, setiap kaidahnya totalitas menjelaskan yang terprinci atau cuilan kecilnya nash-nash yang terbatas sedangkan insiden terus bertambah, jadi perlu ada ijtihad dari Nabi.
2. Mengajarkan insan cara untuk mengeluarkan hukum, atau cara mengambil aturan dari dalil-dalil yang ada sehingga sanggup motivasi mereka untuk melaksanakan ijtihad dan memberi fatwa, semoga merek tidak takut jatuh dalam kesalahan sehingga meninggalkan ijtihad dan merasa takut padahal Rasulullah sudah mengizinkan kepada salah seorang sahabat untuk berijtihad di hadapan Rasulullah.
3. Dari klarifikasi di atas sanggup di simpulkan bahwa ijtihad pada zaman pembentukan dan perumbuhan tidak hanya sesuai dengan harapan Rasulullah, namun juga meliputi para sahabat, Rasulullah telah memberi izin kepada mereka untuk berijtihad ketika Rasulullah ada di kawasan atau sedang berpergian, Rasulullah mengakui ijtihad mereka jikalau memang benar dan mengingatkan jikalau memang salah.
G. Karakteristik perundang-undangan pada Masa Kerasulan
Dari paparan yang sudah kami sebutkan perihal dinamika perundang-undangan Islam pada fase ini maka sanggup kami sebutkan beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan ini sebagai berikut.
a. Sumber perundang-undangan pada zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan kedua bagiannya baik yang terbaca, yaitu Al-quran, atau yang tidak terbaca,yaitu hadits.
b. Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini ialah Rasulullah sendiri, alasannya Allah telah memilihnya untuk memberikan risalah.
c. Kesempurnaan syariat sanggup dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, dimana kitab Allah memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali serta berjalan diatas bahteranya yang memuat produk perundang-undang yang lentur dan sesuai untuk segala kondisi dan zama.
d. Fiqh Islam dengan pengertian secara terminologi belum muncul pada zaman ini alasannya menyerupai yang sudah kami jelaskan sebelumnya semua sumber aturan dalam setiap permasalahan yang muncul ialah penyampai
e. Pada masa Rasulullah jikalau ada yang bertanya perihal aturan sesuatu maka Rasulullah akan menjawab, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada di kawasan maka para sahabat akan berijtihad sendiri kemudian mengembalikan keputusan kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau di batalkan
f. Belum terlihat pada zaman ini ada masalah-masalah yng bersifat iftiradhiyah (hipotesis), semua kasus lahir dari realitas hidup yang perlu di jelaskan hukumnya.
BAB III
Kesimpulan
Jadi, tarikh pada masa Rasulullah ialah di mana pada masa ini pembentukan syariat atau di sebut juga pra fiqh. Adapun pada priode kenabian mempunyai 2 priode yaitu priode Mekkah dan priode Madinah. Adapun selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah bertahap turun hukum, sedangkan Priode ini berlangsung semenjak hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah hingga dia wafat, Priode ini berjalan selama 10 tahun. Adapun sumber tasyri pada masa kerasulan yaitu Al-quran, Hadits, dan metode pensyariatan dengan ijtihad Nabi.
Daftar Pustaka
Hasan Khaliln,Rasyid,2009,Tarikh Tasyri’,Jakarta:Amzah
Majid Khon,Abdul,2013,Tarikh Tasyri’,Jakarta:Amzah
Zuhri,Muhammad,1980,Terjemah Tarikh Tasyri’ Islami,Semarang:Darul Ihya
[1]. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,Ikhtisar Tarikh Tasyri’,(Jakarta:Amzah,2013),hal.15
[2] Muhammad Zuhri,Terjemah Tarikh Tasyri’ Islami,(Semarang:Darul Ihya,1980), hal.20
[3]Prof. Dr. aliyasa’ Abu Bakar, Sejarah Fiqh, hal.6
[4]. Dr.Rasyad Hasan Khalil , Tarikh Tasyri’, (Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2009), hal.(Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2009), hal.42
Belum ada Komentar untuk "Maklah Pembagian Periode Tasyri' Dari Abad Rasullullah Hingga Pada Abad Sekarang"
Posting Komentar