Makalah Periode Kebangkitan Kembali Aturan Islam
A. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam
Kata pembaharuan dikenal dengan istilah modernisasi, sekaligus merupakan sinoim dari kata tajdid dan tashlih dalam bahasa Arab. Pada masyaraakaat Baraat, kata modernisasi mengandung artipikiran, aliran, gerakan, dan perjuangan untuk mengubah paham, adat-istiaddat, dan institusi-institusi laa semoga sanggup diubahsuaikan dengan keadaan gres yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.
Paham in mempunyai dampak besar dalam masyarakat dan segera memasuki bidang agama yang di Barat dipandang sebag penghalang bagi kemajuan. Modernisasi di Barat bertujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat di agama Katholik dan Protestan dengan ilmu pegetahuan dan falsafah modern. Aliran ini balasannya membawa kepada sekularisme di Barat.
Pembaruan dalam islam mempunyai tujuan yang sama, tetapi ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak dan tidak boleh diperbaharui menyerupai Quran dan hadist, Meskipun demikian, interprestasinya boleh diperbaharui. Begitu pula penfsiran dalam banyak sekali aspek, menyerupai teologi, hukum, dan politik.
Pembaharuan dalam islam timbul sebagai hasil dari kontak dengan Barat. Padaabad XIX, negara-nnegara Barat mengaami kemajuan, semmeentara kerajaan Utsmani mengalammi kemuduran. Akibatnya, Kerajaan Utsmani yang biasanya menang dalam perperangan, megalami beerbagai kekalahan. Hal ini menciptakan pra pembesar Utsmani menyidik kekuatan Erop. Rahasianya terletak pada kekuatan militer modern.
Kekhalifahan Utsmani kemudian memulai perjuangan pembaruan yang dipusatkan pada bidang militer dengan santunan para jago dariEropa. Pembaruan dalam bidang-bidang lain juga diusahakan, tetapi menerima tantangan dari banyak sekali pihak, seprti militer dan ulama. Hal ini disebabkan lantaran pada zaman itu kontradiksi antara agama Islam dan Katolik masih keras. Umat islam masih curiga terhadap apayang tiba dari Barat. Mereka menganggap apa yang tiba dari Barat hukumannya kafir.
Sejak masa XVII Masehi, timbul upaya untuk melepaskan diri dari taklid sehabis timbulnya kesadaran bersamma dan mengatahui adanya kemunduran dalam bidang agama.Oleh lantaran itu, muncullah gerakan pembaruan di banyak sekali Negara dalam banyak sekali aspek, bergantung kecendrungan si pembaru melihat kelemahan umat islam. Gerakan pembaruan itu antara lain sebagai berikut:
1. Di Hujaz, pada masa XIII Hiijriiahh timbul gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menyerukan pembasmian bid’ah sekaligus mengajak kembali kepada Alquran, sunnah, dan amalan sahabat.
2. Di Libia, Muhammad Ibnu Sanusi, menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari usaha-usaha infiltrasi musuh islam yang menyisipkan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan mengajak kembai kepada Alquran, sunnah, dan amalan ulama salaf.
3. Di syiriah, timbul perjuangan perbaikan yang besendi agama yang dibangun oleh Al-Mahdi serta mengajak kembali kepada aturan Allah dan Rasul-Nya.
4. Di Mesir,akhir masa XIX atauperulaan masa XX Masehi, muncullah tokoh pembaharuan, menyerupai Jamaludin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. Meraka berdakwah mengajak kembali kepada mazhab salaf dan sumber-sumber islam yang asli
5. Al-‘Urwah Al watsqa dan majalahAl-Manar mengumandangkan bunyi pembaharuan ke seluruh dunia sehingga lahirlah ulama gres di setiap negi.
Semua gerakkan pembaharuan di banyak sekali aspek agama, menyerupai akidah, ibadah, dan ahklak bahkan juga aspek politik, social, ekonomi, dan budaya. Semua itu menginspirasikan pembaharuan dalam fiqih[2].
Karenanya dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan-pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relevansinya dengan dilema – dilema kekinian. Menurut pendukung teladan ini, kegagalan fuqaha selama ini dikarenakan kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam perkembangan yang sedemikian rupa sehingga muncul kesenjangan antara fiqih secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Untuk yang tersebut terakhir ini mereka mengajak pada suatu pemahaman yang lebih dinamis dan tidak kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman Tarikh Tasyri’ dengan sosiologi hukum.
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini sanggup dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh Islam, keduakodifikasi aturan Islam.
1. Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada final tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada ketika itu, kerajaan Uthmaniah telah memakai fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk sertifikat dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai tumpuan di dalam menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah usang yaitu dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun 1851 sertifikat yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan menentukan masalah yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah alAhkam al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia dipakai pada zaman pemerintahan Kerajaan Uthmaniah sehingga tidak boleh penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal menyerupai berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman[3].
Pada mukadimah kitab ini, dimulakan dengan fasal permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedahkulliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880 Masihi. Selepas itu terdapat undangundang lain yang digazetkan di negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh Islam tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan negara pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang keluarga dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga memakai prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu aturan yang sesuai dengan kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para ulama memperlihatkan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, memakai konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus.[10] Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, sanggup dirincikan sebagai berikut:
a. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber – taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu menyerupai yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum Al – Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah.
b. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik.Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab – kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
c. Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode ini memilki kelebihan, yakni sanggup memunculkan teori – teori umum dalam fiqih Islam dan teori gres menyerupai teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional serta yang lainnya yang sanggup kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar internasional wacana perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun 1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para penelis menyatakan, “ Fiqih Islam mempunyai nilai perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang – undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih bisa dari perundang – undangan lain dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, gampang dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya”.
d. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini ialah didirikannya beberapa forum kajian diberbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh[4].
2. Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi ialah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu pecahan dalam bentuk butiran bernomor.1Dan bila ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menuntaskan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi ialah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1. Menyatukan semua aturan dalam setiap masalah yang mempunyai kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memperlihatkan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2. Memudahkan para hakim untuk merujuk semua aturan fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa pecahan dari fiqih telah disusun dalam bentuk undang – undang semenjak dari masa Nabi Saw masih hidup. Undang – undang yang merupakan Undang-Undang Dasar Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun 1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad, dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’, khalifah al – Mansur (w 163 H) Meminta semoga Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang-undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al – muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kenudian dilanjutkan oelh ilama india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya sanggup mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.[12]
B. Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada masa ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara gres dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia berjulukan Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memperlihatkan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a) Dia banyak memperlihatkan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b) Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c) Dia memerangi semua bentuk syirik.
d) Dia mengajak insan pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e) Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f) Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak sikap agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g) Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan ia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hukum Islam mengalami priode perkembangan-perkembangan yang salah satunya ialah disebut dengan Priode Kebangkitan yang dimulai pada pecahan kedua masa ke 19 hingga dengan ketika ini, dengan tokoh sentralnya ialah Jalaluddin Al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
2. Ciri utama dari Perkembangan Hukum Islam pada priode ini ialah adanya permintaan untuk mendirikan Pan Islamisme dan melaksanakan perubahan menyeluruh terhadap dunia Islam khususnya di bidang pendayagunaan nalar atas Al-Qurâan dan Sunnah dan sekaligus melepaskan ikatan dari belenggu mazhab. Bermazhab ialah sesuatu yang biasa, akan tetapi kefanatikan yang berlebihan terhadap mazhab ialah sesuatu yang binasa dan membinasakan.
3. Ciri lain dari periode kebangkitan ini ialah pendekatan aturan Islam melalui Perbandingan Mazhab baik mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi maupun Hambali ditambah lagi dengan Mazhab Syi’ah. Perbandingan bahkan dilakukan dengan sistem aturan Barat dan hukum-hukum lainnya.
4. Ciri lainnya ditandai dengan perhatian yang cukup besar dari dunia Eropa dan Barat pada umumnya untuk mempelajari aturan Islam sehingga mereka mengakibatkan aturan Islam sebagai mata kulliah resmi di Fakultas-Fakultas Hukum.
5. Ciri berikutnya dari perkembangan aturan Islam ini ialah adanya kecenderungan pada negeri-negeri berpenduduk muslim untuk kembali kepada Hukum Islam menyerupai yang terlihat di Timur Tengah dan di Asia Tenggara. Kalaupun negaranya tidak negara Islam, akan tetapi aturan yang diterapkan di dalamnya ialah aturan Islam.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000).
Ibrahim Husen, “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan” (IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989).
DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ).
Rahmat Djatnika, Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: Dept. Agama RI. 1986).
Juhana S. Praja. Dkk, Hukum islam diIndonesia, (Bandung: Pustaka Rosdakarya Offset, 1991).
Mun’im A. Sirrry. Sejarah Fiqih Islam (Islamabad: Risalah Gusti. 1995)
[1]Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 37
[2] Ibrahim Husen, “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan” (IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989).
[3] DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ), h. 62
[4] Rahmat Djatnika , Dkk, Perkembangan IlmuFiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: DepartemenAgama RI, 1986), h. 51
Belum ada Komentar untuk "Makalah Periode Kebangkitan Kembali Aturan Islam"
Posting Komentar