Makalah Pengertian Sunnah Sebagai Dalil

A.     Pengertian  Sunnah
Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu: Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya berita atau warna.
Pengertian sunnah secara terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh. Menurut ulama jago hadis, sunnah identik dengan hadis, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perkataan, perbuataan, perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai insan biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau setelah menjadi Rasul. Adapun sunnah berdasarkan para jago fiqh, di samping mempunyai arti menyerupai yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai sebagai salah satu aturan taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila dikerjakan menerima pahala dan jikalau ditinggalkan tidak berdosa.”
Adapun Sunnah berdasarkan syara’ yakni perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw dan termasuk juga sifat-sifat fisik dan sikap beliau.
Dari makna ini, berarti bahwa Sunnah meliputi yang wajib, mandub(sunnah) dan mubah, baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keyakinan(akidah). Artinya Sunnah itu:
1. Ada yang dikerjakan sebagai suatu kewajiban, menyerupai klarifikasi Nabi saw dalam           problem ibadah.
2. Ada yang ditunaikan sebagai suatu yang mandub hukumnya, menyerupai puasa sunnah, shalat tahajud, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha dan ketaatan-ketaatan lain yang tidak termasuk masalah wajib, yang dikerjakan sebagai penambah pahala.
3. Ada pula yang bersifat mubah. Seperti perbuatan ia saw yang berafiliasi dengan watak kemanusiaan pada umummnya, menyerupai makan, minum, duduk untuk makan, bagaimana cara makan, bagaimana cara minum, bagaimana mengendarai kendaraan. Dan semua itu serta perbuatan-perbuatan yang lain yang semacamnya yakni masalah mubah bagi Rasulullah saw dan bagi umat beliau.

B.     Pembagian Sunnah

a.       Dari segi bentuknya
Berdasarkan definisi berdasarkan para jago di atas sunnah atau hadis dibagi tiga, yaitu:

1)      Sunnah Qauliyah, artinya yakni hadis Nabi SAW. Yang disabdakan sesuai dengan tujuan dan kondisi. Dan juga yang sering dinampakan juga dengan khabar atau gosip berupa perkataan Nabi SAW., yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau beberapa sobat kepada orang lain.
Sunnah Qauliyah sanggup di bedakan atas 3 bagian:
a)      Diyakini benarnya, menyerupai kabar yang tiba dari Allah dan dari Rasul-Nya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang sanggup mendapatkan amanah dan kabar-kabar mutawatir.
b)      Diyakini dustanya, menyerupai dua kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketentuan syara’, menyerupai bid’ah-bid’ah sayyi’ah.
c)      Yang tidak diyakini benarnya dan dustanya.

2)      Sunnah fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW., yang diketahui dan disampaikan oleh para sobat kepada orang lan. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat, dan haji.
Sunnah fi’liyah terbagi menjadi 6 bentuk, yaitu:
a)      Nafsu yang terkendali oleh harapan dan gerakan kemanusiaan, menyerupai gerakan anggota tubuh dan gerak badan; Sunnah  Fi’liyah menyerupai ini menunjukkan mubah (boleh).
b)      Sesuatu yang tida berafiliasi dengan ibadah,seperti berdiri, duduk, dan lain-lain
c)      Perangai yang membawa kepada syara’ berdasarkan kebiasaaan yang baik dan tertent, menyerupai makan, minum, berpakaian, dan tidur.
d)     Sesuatu yang tertentu kepada Nabi saja, menyerupai beristeri lebih dari empat orang.
e)      Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samar-samar), menyerupai menjelaskan perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardhu) dan shalat khusuf (gerhana).

3)      Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sobat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi SAW, tetapi Nabi hanya membisu dan tidak menyegahnya. Sikap membisu atau tidak mencegah menunjukkan persetujuan Nabi SAW.

b.      Dari segi periwayatannya
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam membagi hadist Nabi. Menurut Jumhur ulama, Sunnah itu terbagi dua, yaitu Sunnah Muttawatirah dan Sunnah Ahad. Sedangkan berdasarkan ulama Hanafiyah Sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu Sunnah Muttawatirah, Sunnah Masyhurah dan Sunnah Ahad.

1)      Sunnah Muttawatirah, yaitu Sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok besar rawi yang mustahil mereka bersepakat melaksanakan kebohongan, atau secara tidak sengaja bersepakat bohong, dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya secara bersambung. Suatu Sunnah dikategorikan  mutawatirah, apabila memenuhi persyaratan :
a)      Diriwayatkan oleh sejumlah banyak rawi yang berdasarkan budbahasa kebiasaan mereka mustahil bersepakat melaksanakan kebohongan, atau secara tidak sengaja bersepakat bohong.
b)      Keadaan para perawi yang di sebutkan pada point (a) tersebut harus tetap terjaga pada setiap jenjang (thabaqat) rawi.
c)      Sandaran pengetahuan terhadap apa yang disampaikan haruslah berdasarkan penglihatan atau telinga langsung.

2)      Sunnah Masyurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan seorang atau dua beberapa orang sahabat, tetapi kemudian, pada masa tabi’in dan tabi tabi’in diriwayatkan oleh rawi yang banyak yang mustahil mereka sepakat berbuat dusta. Menurut Ulama Hanafiyah, hadits Masyhur menghasilkan dugaan berpengaruh mendekati derajat yakin. Di antara pola hadits Masyhur yakni hadits perihal niat dan hadits perihal keharaman memadu seorang perempuan dengan keponakannya.

3)      Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak hingga kepada derajat mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya, meskiun pada tingkat sobat diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi. Jumlah hadits minggu ini sangat banyak.

Hadits minggu menghasilkan ilmu yang bersifat zanni, tidak memfaedahkan ilmu yakin atau qath’i. Hal inilah yang menimbulkan para ulama berbeda pendapat dalam memutuskan hadits minggu sebgai sumber hukum. Kalangan Mu’tazilah dan Khawarij menolak mengakibatkan hadits minggu sebagai sumber aturan alasannya yakni hadits tersebut diragukan kebenarannya berasal dari Nabi AW. dan ada kemungkinan palsu.

Perbedaan antara Sunnah Mutawatirah dan Masyhurah
Rangkaian sanad yang meriwayatkan Sunnah Mutawatirah yakni kelompok mutawatir mulai pertama kali diterima dari Nabi hingga hingga kepada kita. Sedangkan rangkaian sanad yang meriwayatkan sunnah masyhurah pertama kali dari nabi yakni seorang, dua orang atau beberapa orang rawi yang tidak hingga pada hitungan mutawatir, gres kemudian diriwayatkan oleh kelompok-kelompok hingga hingga kepada kita.

C.     Fungsi Sunnah

Sunnah mempunyai fungsi penting dalam aturan Islam. Secara umum, fungsi Sunnah sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi bayan (penjelas apa yang terdapat di dalam Alquran) dan fungsi insya’ atau tasyri’ (menetapkan aturan sendiri dalam masalah dimana Alquran belum menyebutkannya sama sekali). Kedua fungsi tersebut sanggup dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
a.       Fungsi bayan ta’kid, yaitu menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, menyerupai Sunnah yang melarang durhaka kepada orang tua, larangan menciptakan kesaksian palsu, dan larangan membunuh.
b.      Fungsi bayan tafsir, yaitu menjelaskan makna lafaz yang maknanya masih samar di dalam Alquan, menyerupai Sunnah Nabi yang menjelaskan tata cara shalat yang di dalam Alquran disebutkan secara samar. Ketika ada perintah shalat, para shabat bertanya-tanya perihal apa dan bagaimana shalat itu dilakukan, kemudian Nabi menjelaskan dengan perbuatan dan ucapannya.
c.       Fungsi bayan tafsil, yaitu memerinci hukum-hukum yang dalam Alquran disebutkan secara mujmal atau global. Seperti Sunnah yang memerinci waktu-waktu shalat wajib, kadar zakat, tata cara ibadah haji dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini yakni Sunnah Nabi yang memperluas hukum-hukum yang sudah disebutkan di dalam Alquran. Misalnya, Sunnah Nabi yang menambah jumlah perempuan yang diharamkan dalam Alquran dengan menambah larangan mengawini wanit bantu-membantu dengan bibinya.
d.      Fungsi bayan Taqyid dan Takhsis, yaitu mengkhususkan hukum-hukum yang di dalam Alquran disebutkan secara umum. Seperti Sunnah yang mengkhususkan pengertian anak pada ayat mawaris pada anak yang tidak membunuh orang tuanya dan  tidak murtad atau berbeda agama.
e.       Fungsi Insya’ dan Tasyri’, yaitu memutuskan aturan sendiri di mana suatu masalah tidak dijelaskan di dalam Alquran. Misalnya Sunnah yang mengharamkan hewan himar yang jinak, keharaman hewan yang bertaring, keharaman burung yang berkuku tajam, kebolehan memutuskan masalah dengan seorang saksi dan sumpah, memutuskan kebolehan gadai tidak dalam keadaan safat, kewajiban membayar diat atas keluarga yang membunuh, kewarisan nenek dan lain-lain.

Nabi Muhammad SAW. dalam menjalankan kiprah kerasulannya berfungsi sebgai penyampai dan penjelas terhadap anutan Allah (al-Quran) yang diturunkan kepadanya. Tugas Nabi sebagai pemberi bayan (penjelasan) atau tabyin (menjelaskan ayat-ayat aturan dalam al-Quran).

Secara lebih rinci fungi sunnah terhadap al-Quran adalah:
a.    Memperkuat dan menegaskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran atau disebut juga dengan fungsi ta’kid dan taqrir. Dengan kata lain, sunnah hanya menyerupai mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Quran.
b.    Memberikan klarifikasi terhadap al-Quran. Sunnah sanggup berupa klarifikasi terhadap hal-hal yang masih samar dalam al-Quran. Kadangkala Sunnah tiba mentakhsis ayat-ayat umum dalam al-quran, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud Allah yakni sebagian cakupan lafal mum itu, bukan seluruhnya. Sunnah juga berfungsi sebagai taqyid (membatasi) lafal mutlak dalam al-Quran. Bahkan Sunnah tiba memperluas maksud dari sesuatu yang terdapat dalam al-Quran dengan menciptakan aturan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban.

Dari beberapa fungsi Sunnah yang termasuk dalam poin kedua ini, sanggup dikemukakan sebuah pola mengenai masalah li’an. Li’an terjadi jikalau seorang suami menuduh isterinya berzina tanpa bisa mengemukakan empat orang saksi, sedangkan isterinya tidak mengakuinya. Jalan keluar memilih ebenaran atau kedustaan tuduhan itu yakni dengan li’an.




D.     Tingkatan Kekuatan atau Kehujjahan Sunnah

Kedudukan Sunnah sebagai sumber dan dalil aturan kedua setelah Alquran, Ijma’ dan akal. Di antara ayat Alquran sanggup disebutkan antara lain ayat yang menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Nabi itu tidak lain yakni wahyu (QS al-Najm: 3-4), ayat yang menjelaskan kiprah Nabi sebagai penjelas Alquran (al-Nahl: 44), ayat yang mewajibkan kita mengikuti apa yang diperintahkan Nabi  dan menjauhi apa yang dihentikan Nabi.

Menurut logika, Muhammad yakni Rasul Allah. Ini berarti kedudukan ia yakni sebagai penyampai wahyu dari Allah. Apa yang disampaikannya kepada umat, pada hakekatnya merupakan wahyu Allah, baik yang dibacakan, maupun yang tidak dibacakan. Konsekwensinya dari keimanan kita kepada kerasulan Muhammad yakni menantinya dan mengikuti hukum-hukum yang dibawanya. Sebab, keimanan tanpa disertai mengikuti ajarannya tidaklah ada artinya.

Bukti atas kekuatan al Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:

Pertama: Nash-nash al Quran. Karena Allah SWT. sering kali dalam ayat-ayat al Alquran memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, mengakibatkan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepada-Nya. Semua ini yakni bukti dari Allah bahwa penetapan aturan yang dilakukan Rasulullah yakni penetapan aturan Thu\\uhan yang wajib dikuti.

Kedua: Kesepakatan para Sahabat ra., baik semasa hidup maupun sepeninggal Rasulullah SAW. akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup Nabi, para sobat telah melaksanaakan hukum, menjalankan perintah dan (menjauh) larangan NaBi SAW.; halal dan haram. Dalam pelaksanaan kewajiban mengikuti, mereka tidak membedakan antara aturan yang keluar berasal dari Nabi sendiri.

Ketiga: Allah SWT. Dalam al Alquran telah memutuskan banyak sekali kewajiban yang masih bersifat global, aturan dan petunjunk pelaksanaannya tidak terpecinci.

Chaerul Uman, dkk. (2001: 64-67), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama perihal sunnah Rasul sebagai sumber aturan yang kedua setelah al-Quran di dalam memutuskan suatu keputusan hukum, menyerupai menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan al’Quran. Oleh alasannya yakni itu, wajib bagi umat islam mengamalkan dan mendapatkan apa-apa yang terkandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah saw.
          Umat Islam sepakat mengakibatkan Sunnah Nabi yang meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya sebagai sumber aturan islam yang kedua. Sunnah ini menjadi sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan aturan islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.



E.      Hubungan Al-Sunnah dengan Al-Quran

Hubungan al Sunnah kepada al Alquran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan acuan dalam mengeluarkan aturan syara’ yakni menjadi pengiring al Quran. Artinya seorang mujtahid dalam membahas suatu bencana tidak boleh merujuk kepada al Sunnah kecuali setelah tidak sanggup menemukan hukumnya dalam al Quran. Karena al Alquran yakni sumber pertama hkum syara’.

Adapun hubungannya kepada al Alquran dari segi aturan yang dbawanya, tidak lebih dari salah satu di antara tiga hal berikut:
a.    Al Sunnah memutuskan dan menguatkan aturan yang dibawa al Quran, sehingga aturan itu mempunyai dua sumber dan dua dalil; ayat al Alquran dan sunnah Rasul.
b.    Al Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan aturan yang dibawa al Quran, membatasi kemutlakannya dan mentakhsis keumumannya. Penjelasan, pembatasan, atau pentakhsisan al Sunnah terhadap al Alquran yakni menjelaskan makna ayat al Quran.
c.    Al Sunnah juga memutuskan dan membentuk aturan yang tidak dijelaskan oleh al Quran. Sehingga aturan itu ditetapkan berdasarkan dalil al Sunnah, bukan al Quran.

Adapun sumber hukumnya yakni inspirasi Allah kepada Rasul-Nya atau ijtihad Rasul Sendiri.

Imam Syafi’i dalam kitab ar Risalah (dalam problem Ushul Fiqh) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaaan pendapat di antara para ilmuwan bahwa Sunnah Nabi SAW. Itu di peroleh dari tiga cara:
a.    Nash al Alquran yang diturunkan oleh Allah SWT., kemudan Nabi membentuk sunnah sesuai dengan nash tersebut.
b.    Allah menurunkan nash secara global kemudian Nabi SAW. (dengan inspirasi Allah) memutuskan sunnah dengan menjelaskan makna nash yang dimaksud.

c.    Sunnah Rasul yang memang tidak terdapat dalam nash al Quran.”

Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Sunnah Sebagai Dalil"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel