Makalah Pengertian Rujuk Dan Iddah Dalam Fiqh Munakahat

RUJUK
1.      Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi yaitu kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi yaitu kembalinya suami kepada kekerabatan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam aturan perkawinan islam rujuk merupakan tindakan aturan yang terpuji (Ali, 2006: 90).
Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai kembali ke dalam kekerabatan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang mengambarkan hakikat dari perbuatan yang berjulukan rujuk itu:

·         Kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan pria yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
·         Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan
·         Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak sanggup lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah gres dengan janji gres (Syariffudin, 2009: 337-338).

2.      Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah (2008: 483), beropini rujuk terhadap perempuan yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap perempuan yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat aturan perempuan ibarat itu sama dengan perempuan lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.

Menurut (Rifa’i, Mas’udi, 1986: 275) mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami tersebut tidak boleh melaksanakan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.


3.    Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melaksanakan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
a.       Rukun Rujuk
Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melaksanakan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian menyampaikan wajib, sedangkan yang lain menyampaikan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Imam Syafi’i beropini hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang sanggup dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi berdasarkan kebanyakaan para ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib (Rasjid, 1994: 420).
    
b.      Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a)       Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi pria yang merujuk itu yaitu sebagai berikut: pria yang merujuk yaitu suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan pria yang merujuk itu mestilah seseorang yang bisa melaksanakan janji nikah dengan sendirinya, yaitu telah sampaumur dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum sampaumur atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk lantaran sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam memutuskan sahnya janji yang dilakukan oleh orang mabuk.
b)      Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah: perempuan itu yaitu istri yang sah dari pria yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’inistri itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih memiliki kekerabatan aturan dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, lantaran rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak memiliki iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya (Syariffudin, 2009: 341-343).

Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan (2004: 267-268) menyampaikan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:

o    kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, lantaran hak rujuk itu yaitu hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
o    tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya lantaran lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan
o    saksi ketika rujuk, saksi tidak dibutuhkan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam sepakat menyampaikan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati belaka.

4.    Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:

1)      suami yang hendak merujuk istrinya tiba bahu-membahu istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi daerah tinggal suami istri dengan membawa penetapan wacana terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2)      rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3)      pegawai Pencatat Nikah mengusut dan menyidik apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk berdasarkan aturan munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu yaitu istrinya,
4)      setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5)      setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri wacana hukum-hukum dan kewajiban mereka yang bekerjasama dengan rujuk (Ramulyo, 1996: 165-166)

Pasal 168 KHI:
Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibentuk rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang dibutuhkan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari setelah rujuk dilakukan danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menyebarkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan informasi program wacana sebab-sebab hilangnya (Abdullah, 1994: 127).

Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai berikut Pasal 169 KHI:
.
§   Pegawai Pencatat Nikah menciptakan surat keterangan wacana terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di daerah berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk berdasarkan rujukan yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
§   Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di daerah berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
§   Catatan yang dimaksud berisi daerah terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.

5.    Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memperlihatkan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melaksanakan percerain dan saling memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah dikala belum bercerai, rujuk mengembalikan kecintaan ibarat sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya, dan rujuk sanggup mengukuhkan kembali keretakan kekerabatan rumah tangga sehingga keutuhan keluarga sanggup dipelihara.

6.    Hukum Rujuk

§  Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
§  Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
§  Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
§  Mubah, ini yaitu aturan rujuk yang orisinil dan
§  Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).

7.      Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikalau mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan). Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i memiliki batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim (Djamal, 1983: 284)

IHDAD

1.    Pengertian Berkabung/Ihdad
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal dari kata ahadda, dan  kadangbisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara evitimologis (lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan atau larangan)sedangkan berdasarkan Abdul Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang dimaksud dengan ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Masa tersebut yaitu 4 bulan dan sepuluh hari yang disertai dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek mata,berhias diri,keluar rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
Sedangkan berdasarkan pandangan syara’ ihdad yaitu meninggalkan pakaian yang dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain itu ditenun atau kain tiu menjadi kasar
Tetapi berdasarkan Sayyid Abu Bakar  al-Dimyati memperlihatkan devinisi ihdad sebagaimana berikut.
Ihdad yaitu menahan diri dari bersolek atau berhias diri dibadan.
Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah Zuhaili memperlihatkan definisi sebagai berikut.
Ihdad yaitu meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak. minyak yang mengharumakan atau tidak.
Menurut pengarang kitab Hasyiyatani bahwa ihdad :
Yang artinya:”secara bahasa larangan, secara syara’ larangan yang ditentukan untuk berhias diri dan menggunakan pakain yang dicelup atau pakai pewarna dan sesasamanya
Imam Hanafi devinisi ihdad adalah:
Ihdad yaitu suatu ungkapan yang didivinisikan dengan menjahuinya seorang perempuan dari menggunakan harum-haruman, menggunakan celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.
Imam Maliki mendevinisikan ihdad adalah:
Ihdad yaitu meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibentuk berhias oleh seorang perempuan ibarat minter, celak wangi-wangian dan baju yang di warnai.


Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal sebagaiman:
Ihda yaitu seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.

 2.      Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad

Para fuqaha’ beropini bahwa perempuan yang sedang melaksanakan ihdad tidak boleh melaksanakan perbuatan yang membikin orang pria tertarik pada dirinya perempuan yang melaksanakan berkabung tersebut, ibarat menggunakan komplemen intan, celak, menggunakan pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam.
Mengenai menggunakan celak ini masih ada perbedaan para fuqaha wacana tidak boleh dan bolehnya menggunakan celak ini. Satu golongan beropini bahwa seorang perempuan yang sedang melaksanakan ihdad diperboleh kan menggunakan celak dengan syarat pada siang malam hari, tetapi berdasarkan pendata yang lainnya menyampaikan tidak harus malam hari pada waktu siang haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias dir,tetapi lantaran ada darurat dan kebutuhan ibarat sakit mata dan lainnya.
Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa seorang seorang perempuan yang sedang melaksanakan ihdad wacana larangan bagi seorang perempuan sangatlah berdekatan dan hamper sama pendapatnya, yaitu perempuan  harus menjauhi menggunakan pakaian atau sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad bagi seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu hadits Shahih dibawah ini:
            “Bahwa seorang perempuan tiba kepada nabi kemudian berkata:yarasulullah, bahwasanya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh lantaran sakit pada kedua matanya, bolehkan ia bercelak wahai rasulrasulullah?rasulullah menjawa, tidak boleh (2x)atau (3x)yang pada masing masing dia tidak memperbolehkan. Kemudian dia berkta:sesungguhnya iddahnya yaitu 4 bulan dan 10 hari,dan bahwasanya dulu ada yang melaksanakan ihdad selama satu tahun ”.
Abu Muhammad menyatakan hadits tersebut memperlihatkan kita wajib berpegangan pada pendapat yang menyampaikan bahwa berihdad itu hukumnya wajib.

3. Yang Tidak Terlarang Bagi Wanita Yang Sedang Berihdad

Tidak tidak boleh  baginya  untuk  memotong  kuku,  mencabut  rambut  ketiak,  mencukur
rambut  kemaluan,  mandi  dengan  daun  bidara,  atau  menyisir  rambut  karena  tujuannya  untuk kebersihan  bukan  untuk  berwangi-wangi/berhias.  (Al-Mughni,  Kitab  Al-‘Idad,  Fashl Ma).
          Demikian pula mencium minyak busuk lantaran bila sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang perempuan yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi persoalan bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)


Tidak diharamkan baginya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan pula  baginya  berbicara  dengan  laki-laki  sesuai  keperluannya,  selama  ia  berhijab

         Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para perempuan dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159).


4. Hikmah Ihdad Oleh Wanita
Fadhilatusy  Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  Al-‘Utsaimin  rahimahullahu  mengatakan, “Hikmahnya  adalah  untuk  menghormati  hak  suami  dalam  masa  ‘iddah  karena  meninggalnya, hingga tidak  ada  seorang  pun  yang  berkeinginan  untuk menikahi  si perempuan  dalam masa  ‘iddah. Sebagaimana  Allah  subhanahu wata’ala  berfirman,
 “Dan  suami-suami  mereka  paling berhak  merujuki  mereka  dalam  masa  ’iddah  tersebut, jika  mereka menghendaki  ishlah.”  (Al-Baqarah: 228)



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah aturan syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa iddah dengan syarat-syarat tertentu.
            Ihdad yaitu kondisi perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi apa saja yang mengarah kepada kekerabatan seksual dengannya atau tidak mengenakan komplemen apa saja yang menimbulkan pria lain yang sanggup menimbulkan pria lain tertarik melihatnya.
            Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi perempuan yang dalam keadaan berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, menggunakan farfum, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, menggunakan pakaian yang berwarna yang pada pada dasarnya menjauhi kasus yang sanggup menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.



Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Rujuk Dan Iddah Dalam Fiqh Munakahat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel