Makalah Pengertian Nusyuz Dan Dalil-Dalil Yang Berkenaan Dengan Nusyuz



A.    NUSYUZ
  1. Pengertian

            Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk dipakai yakni “menentang atau durhaka”. lantaran makna inilah yang paling mendekati dengan problem rumah tangga.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:


تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةال
    “mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”


Sedangkan berdasarkan istilah, dalam kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:

ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما

“nusyuz yakni keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”

            Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz yakni pelanggaran janji bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini yakni merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada gejala melaksanakan nusyuz.

2. Macam – Macam Nusyuz

  Nusyuz Perempuan / istri

Dalil al-Qur’an mengenai nusyuz perempuan ini ada contohnya pada surat An-nisa’ ayat 34:

            “Wanita-wanita yang kau khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian bila mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34
            Asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan masalah seorang yang memukul isterinya lantaran berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah Selanjutnya Rasulullah memutuskan eksekusi qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai teguran kepada Rasulullah lantaran keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat an-Nisa’ ayat 34 ini.
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
  1. tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
  2. tidak kasatmata atau tidak terperinci penghormatan kepada suaminya
  3. tiada mendatangi suami kecuali dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.
  4. seorang isteri yang bila diajak untuk berafiliasi intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih adil melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya rasional, menyerupai sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan.

            Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:

            Pertama, Nusyuz dengan ucapan yakni apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia hirau tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
            Kedua, nusyuz dengan perbuatan yakni apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian menjelma enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya tiba ia pribadi menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi
            Dalam kompilasi aturan Islam, soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.
Pasal 80
1) suami yakni pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami dan isteri.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan menawarkan segala sesuatu keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan berguru pengetahuan yang berkhasiat dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri yakni berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh aturan Islam;
2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya;

Pasal 84

1) Isteri sanggup dianggap nusyuz bila ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;

2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) abjad a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sehabis isteri tidak nusyuz.

4) Ketentuan wacana ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam terperinci menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melaksanakan nusyuz.

Cara penyelesaian
 Jika isteri melaksanakan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:
            “Wanita-wanita yang kau khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian bila mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34)
            Bedasarkan ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang melaksanakan nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas semoga ia sanggup kembali menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan kekerabatan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar.
            Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini gres dilakukan bila cara yang pertama tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melaksanakan kekerabatan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berafiliasi seksual. Bisa juga suami boleh tidur bersama hingga istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya dengan isteri
            Ketiga, bila cara pertama dan kedua tidak bisa menciptakan isteri menjelma taat kepada janji bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir yakni dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan tangan atau alat secara garang apalagi melukai.

  Nusyuz Laki – Laki / Suami
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:


            “Dan bila perempuan khawatir wacana nusyuz  atau perilaku tidak hirau dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun insan itu berdasarkan tabiatnya yakni kikir. Dan bila kau bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan perilaku acuh), maka sebenarnya Allah yakni Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan. (an-Nisa’ : 128).

            Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah yang menimpa Saudah (isteri Rasulullah). Ketika dia sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia berkata kepada Rasulullah:
            “Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah saya masih menghendaki laki-laki, tetapi lantaran saya ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah saya menjadi isterimu dan saya berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
            Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri dia hingga meninggal dunia  Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.

Nusyuz suami, intinya yakni bila suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :


1.Memberikan mahar sesuai dengan undangan isteri;
2.Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
   3.Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar             utama menyerupai alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.
4.Menyiapkan pembantu bagi isteri yang dirumahnya mempunyai pembantu;
   5.Menyiapkan materi makanan minuman setiap hari untuk isteri belum dewasa dan pembantu  kalau ada

6.Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;
7.Memberikan rasa kondusif dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan. 
9.Berbuat adil, apabila mempunyai isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.

Cara penyelesaian


            Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya yakni dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi bila hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa tiba dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:
            “Dan bila kau khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga pria dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, pasti Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sebenarnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
            Apabila dengan cara tersebut masih belum tercapai kata damai, maka hakim boleh menjatuhkan ta’zir. Ta’zir dari segi bahasa bermakna mendidik atau memperbaiki, sedangkan berdasarkan istilah, ta’zir yakni mengajarkan adab atau mengambil tindakan atas dosa yang tidak dikenakan eksekusi “had” dan tidak ada “kafarah”. Seperti nusyuz suami ini.
            Adapun bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melaksanakan kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam masalah nusyuz suami ini, yaitu sbb:
v pemukulan yang tidak melukai;
v tempelengan yaitu pemukulan dengan keseluruhan telapak tangan;
v penahanan (penjara);
v mencela dengan perkataan;
v mengasingkan dari tempat asal hingga pada jarak tempuh yang boleh melaksanakan qasar;
v memecat dari kedudukannya;
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang


            Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melaksanakan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur aturan juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak menawarkan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
            Sebagai akhir aturan dari perbuatan nusyuz berdasarkan jumhur ulama, mereka setuju bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin tepat dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang sanggup dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapat nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib menawarkan nafkah, suami juga tidak wajib menawarkan giliranya. Tetapi ia masih wajib menawarkan tempat tinggal.
            Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk menawarkan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa di ajak hening dengan cara musyawarah. Demikian berdasarkan pendapat Imam Malik.

B. SYIQAQ
1. Pengertian
            Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab”Syiqaqa” yang berarti sisi; perselisihan; (al khilaf); perpecahan; permusuhan; (al adawah); kontradiksi atau persengketaan. Dalam bahasa melayu diterjemahkan ddengan perkelahian.
            Sayuti thalib mengartikan syiqaq dengan keretakan yang sangat jago antara suami istri.
Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
 Maksudnya apabila terjadi perselisihan yang sudah jauh diantara suami istri, maka hendaknya didatangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai hakam(arbiter), dari keluarga suami dan dari keluarga istri.
 Rumusan definisi di atas, sama dengan rumusan Irfan Sidqanyang mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menjadikan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh lantaran itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai(hakam) untuk menuntaskan perselisihan tersebut.
 Definisi syiqaq berdasarkan fuqaha ialah perselisihan antara suami istri yang dikhawatirkan akan memutus kekerabatan perkawinan, untuk menuntaskan diangkatlah hakamain.
            Dalam klarifikasi pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
            Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam  Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini menyerupai dengan apa yang dirumuskan dalam klarifikasi pasal 39 ayat 2 abjad f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 abjad f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi aturan islam ;”antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada keinginan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
2.      Cara penyelesaian
1.      Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas sebagai penengah kasus yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri.
2.      Apabila tidak ditemukan lagi jalan keluar, sedangkan seluruh perjuangan dan cara sudah dilakukan, maka di dikala itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu perjuangan memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak sanggup diatasi kecuali dengan berpisah yakni dengan thalaq/cerai.


















BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut sanggup disimpulkan bahwa :
  1. Nusyuz yakni tindakan istri yang sanggup ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Begitu pula sebaliknya. Tentu saja sepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan aturan agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan atau tidak sanggup dibenarkan oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlah termasuk nusyuz ( durhaka ).
  2. Macam-macam nusyuz yakni nusyuznya istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri
  3. Jika terjadi nusyuz, maka penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur (mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan selain wajah dan potongan kepala.{apabila yang melaksanakan nusyuz yakni istri}. Sedangkan apabila yang melaksanakan nusyuz yakni suami, maka cara penyelesaiannya yakni dengan istri yang mengajak suami bermusyawarah untuk menuntaskan masalah tersebut baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan yang kedua yakni mengahdirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk berunding.
  4. Syiqaq yakni putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu pihak.
  5. Cara menyelesaikanya yakni dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Gozi , Ali Ibnu Qasim. Al-Bajuri,juz II
Al-Qurthubi, Abu Adillah bin Muhammad. Jami’ ahkami Qur’an jilid III. Bairut: Dar Al-Fikr
Al-Thabary, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V.
As-Syuti Jalaluddin. Al-Durru Al-Mansyur. Bairut:Dar al-Fikr
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. PT. Sari Agung
Mukhtar, Kamal. 1993. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III.  Jakarta: Bulan Bintang
Munawir, Ahmad Warsan. 1994.  Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:Pustakan progresip
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press


Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Nusyuz Dan Dalil-Dalil Yang Berkenaan Dengan Nusyuz"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel