Makalah Pengertian Masa Berkabung

A.       Hadits dan Arti
1.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم
Artinya:
"Tidak boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas selesai hayat melebihi tiga hari, kecuali atas selesai hayat suaminya" (H.R Muslim)[1]

Dan dalam riwayat Bukhari terdapat perhiasan lafazh :
فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya:
"Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari"[2]

2.
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي

"Umar bin Abdillah bin Al Arqam Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) ialah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan beliau ini termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak usang kemudian sesudah suaminya wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kau berhias, sepertinya kau ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu dihentikan menikah hingga selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka saya menggunakan pakaianku pada sore harinya, kemudian saya mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah memperlihatkan anutan kepadaku, bahwa saya telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.”[3]


B.       Pengertian yang terkandung
Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma’ perihal kewajiban Ahdaad bagi perempuan yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah.[4]
Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syari’at memperbolehkan seorang perempuan untuk berkabung atas selesai hayat selain suaminya selama tiga hari, alasannya kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang mendera alasannya selesai hayat orang tersebut. Hal itu tidak wajib berdasarkan janji para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya bekerjasama intim (jima’) maka ia dihentikan menolaknya.[5]
Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang perempuan berkabung selama tiga hari atas selesai hayat bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah.[6]
Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas selesai hayat suami hukumnya wajib dan atas selesai hayat selainnya boleh saja.[7]
Oleh alasannya itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: ‘Adapun orang yang hamil, jikalau telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut berdasarkan janji mereka (para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan menggunakan wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya.[8]
Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan imam anutan di banyak sekali negeri beropini bahwa orang yang hamil jikalau wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.[9]
Masa berkabung ini dimulai dari hari selesai hayat suami, walaupun isu kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat lebih banyak didominasi para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.[10]
C.       Ayat yang relevan
1.
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] berdasarkan yang patut. Allah mengetahui apa yang kau perbuat. (Q.S. al-Baqarah: 234)

[147] Berhias, atau bepergian, atau mendapatkan pinangan




2..
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ  
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jikalau kau ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka ialah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah menyebabkan baginya akomodasi dalam urusannya. (Q.S. ath-Thalaaq: 4)
















BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
1.      Ketentuan berapa usang masa berkabung itu sudah ditetapkan hingga kapan dan dalam kondisi apa sehingga tahu berapa usang masa berkabung itu.
2.      Dalam melewati masa berkabung kita harus senantiasa bersabar, berserah diri dan bertawakal kepada Allah.
3.      Sudah menjadi kelaziman kalau kita berduka dikala ada sanak keluarga atau kerabat meninggal.
4.      Kita boleh berduka namun jangan hingga berlarut-larut, sehingga kita lupa bahwa tragedi alam semuanya ialah kehendak Allah.

B.       SARAN
Setelah membaca makalah ini, penulis berharap kita sebagai orang mukmin biar sanggup menyikapi dengan baik perihal masa berkabung bagi wanita. Karena masa berkabung bagi perempuan memang sudah ditetapkan berapa usang dan hingga kapan masa berkabung itu. Dapat dibayangkan bila kita tidak sanggup menyikapi masa berkabung ini tentu kita akan menjadi orang yang salah dalam mendapatkan ketetapan Allah.
Bila kita salah dalam menyikapi apa yang menjadi ketetapan Allah bisa-bisa kita akan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama. Untuk itu mari kita sikapi masa berkabung ini dengan perilaku lapang dada, sehingga kita tidak terlalu tersiksa dengan perasaan kita sendiri.









[1] HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Thalaq, penggalan Wujub Al Ihdaad, no. 3714.
[2] HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, penggalan Ihdaad Al Mar’ah ‘Ala Ghairi Zaujiha, no. 1280. Lihat Fathul Bari, hlm. 3/146.
[3] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalaq, penggalan Inqidha Al Mutawaaffa ‘Anha Zaujuha, no. 3707.
[4] Zaad Al Ma’ad Fi Hadyu Khairul Ibad, Ibnu Al Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H Muassasah Ar Risalah, hlm. 5/618.
[5] Fathul Bari, Op.cit., 3/146.
[6] Al Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan tahun, Daar Al Turats, Mesir, hlm. 10/280.
[7] Zaad Al Ma’ad, Op.cit., 5/618.
[8] Zaad Al Ma’ad, Op.cit, hlm. 5/619.
[9] Fathul Bari, Op.cit., hlm. 9/474.
[10] Lihat Al Kalimaat Al Bayyinat, Op.cit., hlm. 19.

Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Masa Berkabung"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel