Makalah Pengertian Mahkum 'Alaih, Mukallaf - Ushul Fiqh
2.1 Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh terdiri atas dua kata: ushul (ashl) dan fiqh, secara lughawiyah ushul (ashl) berarti asas, fondasi, atau pokok. Secara lughawiyah fiqh berarti paham (pemahaman) atau mengerti.[3] Sedangkan secara istilahiah ada beberapa pendapat mengenai pengertian ushul fiqh, diantaranya:
Amir Syarifuddin ushul fiqh yakni ilmu ihwal kaidah-kaidah yang membawa kepada perjuangan merumuskan aturan syara’dari dalilnya yang terinci atau dalam artian sederhana adalah: kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[4]
Kamal Muchtar yang mengutip [pendapat] Abu Zahrah, ushul fiqh yakni ilmu ihwal kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan rumusan sendiri Kamal Muchtar menyatakannya: kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli aturan islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.[5]
2.2. Mahkum ‘Alaih sebagai Subjek Hukum
Ulama ushul fiqh telah setuju bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.[6]
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap bisa bertindak [sesuai] hukum, baik yang berafiliasi dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan aturan yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.[7]
Menurut Alaiddin koto dalam bukunya Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, menjelaskan bahwa yang dimaksud mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berafiliasi dengan aturan syar’i. atau dengan kata lain, mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya aturan Allah.[8]
Dinamakannya mukallaf sebagai mahkum ‘alaih adalah lantaran dialah yang dikenai (dibebani) aturan syara’. Ringkasnya, yang dinamakan mahkum ‘alaih adalah orang atau si mukallaf itu sendiri. Sedangkan perbuatannya disebut mahkum bih.[9]
Menurut Chaerul Umam, dkk dalam bukunya Ushul Fiqh 1, menyatakan: para ulama ushul fiqh menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah orang yang perbuuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukallaf yakni orang yang telah dianggap bisa bertindak hukum, baik yang berhubungn dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Seluruh tindakan aturan mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia menerima imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia menerima resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[10]
Sedangkan berdasarkan C.S.T. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menyatakan: dalam dunia aturan perkataan orang (person) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subjek hukum.[11]
2.3. Syarat-Syarat Seorang Dikatakan sebagai Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih berarti “orang mukallaf (orang yang layak dibebani aturan taklifi)”. Seseorang gres dianggap layak dibebani aturan taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:
1. Menurut Satria Effendi, M. Zein dalam bukunya Ushul Fiqh, menyatakan:
a. Mampu memahami dalil-dalil aturan baik secara berdikari atau dengan pemberian orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami aturan taklifi itu disebabakan seseorang itu mempunyai nalar yang sempurna. Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi perempuan dengan mulainya menstruasi dan bagi pria mimpi pertama bersenggama. Namun jikalau hingga umur lima belas tahun perempuan tidak juga haid dan pria tidak mimpi maka umur lima belas tahum dijadikan batas umur minimal baligh beralal.
b. Mempunyai ahliyatu al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara aturan atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan sepertiitu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh aturan islam, dan ia ia diperingatkan untuk menlaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan separti ini gres dimiliki oleh seseorang secara tepat bilamana ia baligh berakal dan terbebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, ibarat dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-alin yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang gres dianggap sah disamping sudah baligh dan berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseoarang yang telah mencapai umur baligh berakal tetapi tidak bisa mengendalikan hartanya, ibarat mubazir tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya dan oleh lantaran itu ia perlu dibimbing penanggungjawabnya.[12]
2. Menurut Alaiddin Kato dalam bukunya Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, menyatakan:
a. Orang tersebutmampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak bisa memahami dalil-dalil itu mustahil mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami dalia-dalil taklif hanya sanggup terwujud dengan akal, lantaran nalar yakni alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh lantaran nalar yakni alat yang tersembunyi yang sulit diukur, maka Allah menyangkutka taklif itu kedalam hal-hal yang menjadi tempat anngapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang telah baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya berarti telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Berdasarkan hal di atas belum dewasa dan orang absurd tidak dikenai taklif lantaran mereka tidak punya alat untuk memehami taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk lantaran dalam keadaan demikian mereka tidak sanggup memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
b. Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang di taklifkan kepadanya, “Ahli” di sini berarti layak untuk kepantasan pada diri seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan andal untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggu jawab mengurus harta wakaf.[13]
3. Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman dalam bukunya Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, menyatakan:
a. Sanggup memahami khithab-khithab pembebanan. Yakni sanggup memahami sendiri atau dengan perantaraan orang lain nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.karena orang yang tidak sanggup memahami khithab, baik pribadi maupu perantaraan, pasti tidaklah akan tergerak hatinya untuk memenuhi tuntutan syara’ dan tidak akan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kesanggupan memahami khithab-khithab taklif itu hanya terletak kepada nalar dan nash-nash yang dibebankan kepada andal piker yakni untuk dipahaminya. Sebab nalar itu merupakan alat untuk memahami dan menyerap, dan nalar itu pula yang mendorong insan untuk berkendak untuk mematuhinya. Oleh lantaran itu orang absurd dan belum dewasa tidak dibebani suatu taklif, lantaran keduanya belumsanggup memahami khithab-khithab untuk membina ketaatan kepada syari’.demikian juga orang yang dalam keadaan lupa, sedang tidur atau seang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban, lantaran pada ketika itu mereka tidak sanggup memahami khithab.
Adapun pembebanan wajib zakat, nafaqah dan anti rugi atas tindakan anak yang belum cukup umur dan orang absurd sebetulnya bukan merupakan pemberian beban kepada mereka, akan tetapi mereka meerupakan pemberian beban kepada wali mereka dalam rangka hak waib kebendaan.
Bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal bangsa Arab, maka mereka tidak sanggup memahami khithab-khithab syara’ yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, dihentikan dibebani taklif, kecuali kalau mereka sanggup memahami khithab-khithab tersebut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa mereka yang telah disampaikan oleh para da’I (penganjur) kepada mereka.
b. Mempunyai kemampuan mendapatkan beban. Para Ushuliyu membagi kemapuan ini kepada 2 macam.
1) Ahliyatul wujuub, (kemampuan meneriama hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik pria maupun perempuan, baik masih kanak-kanak maupu sudah dewasa, baik tepat akalnya maupu kurang dan baik sehat maupu sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban. Sebab dasar dari hak ini yakni kemanusiaan. Artinya selama kemanusiaan itu masih ada, yakni beliau masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya.
2) Ahliyatul adaa’ (kemampuan berbuat), ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya bila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan itu yakni sah dan sanggup menimbulkan akhibat hukum. Apabila ia melaksanakan perbuatan-perbuatan ibarat shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang lain, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan beliau telah menunikan kewajibannya yang sanggup menggugurkan tanggungan. Apabila ia melaksanakan tindakan pidana terhadap nyawa atau harta milik orang lain, maka ia sanggup dikenai pidana tubuh atau pidana harta (benda/ganti rugi). Dengan demikian ahliyatul ada’ itu yakni soal pertanggungjawaban dan asasnya yakni cakap bertindak (berakal).[14]
2.4. Hubungan Manusia dengan Ahliyatul Wujub
Keadaan insan itu bila dihubungkan dengan [ahliyatul wujub] kemampuan mendapatkan hak dan kewajiban ada dua macam.
a. Adakalanya ahliyatul wujubnya itu kurang sempurna.
Kemampuan seseorang mendapatkan hak dan kewajiban dikatakan kurang sempurna, apabila seseorang hanya pantas memerima hak saja, sedang untuk memikul kewajiban belum pantas.
Orang yang mempunyai ahliyatul wujub kurang tepat itu yakni janin yang masih dalam kandungan ibunya. Karena ketika masih dalam kandungan, ia sudah mempunyai hak mempusakai dan mendapatkan wasiat, tetapi belum mempunyai beban kewajiban terhadap orang lain.
b. Adakalanya ahliyatul wujubnya itu sempurna.
Kemampuan mendapatkan hak dan kewajiban itu dikatakan tepat yakni bila seseorang sudah pantas mendapatkan hak dan memikul suatu kewaajiban. Kemampuan ini menempel semenjak insan dilahirkan hingga meninggal dunia. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama insan itu masih hidup, beliau mempunyai ahliyatul wujub yang sempurna. Anak yang belum cukup umur atau orang absurd sekalipun tetap mempunyai kemampuan mendapatkan hak dan memikul kewajiban, akhirnya ia masih dikenakan kewajiban membayar zakat. Akan tetapi, lantaran ia belum atau tidak tepat akalnya maka yang melaksanakan kewajiban tersebut yakni orang renta atau walinya.[15]
2.5. Hubungan Manusia dengan Ahliyatul ada’
Keadaan insan itu apabila dihubungkan dengan ahliyatul ada’ [kemapuan berbuat] ada tiga macam.
a. Adakalanya seseorang tidak mempunyai ahliyatul ada’ sedikitpun. Misalnya anak yang belum cukup umur dan orang gila. Oleh lantaran keduanya dianggap belum atau tidak mempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Segala tingkah laris dan tutur kata mereka tidak sanggup menimbulkan akhibat hukum. Andai kata mereka berbuat tindak pidana membunuh atau merusak hak milik orang lain, mereka tidak dikenakan hukuma beban, selain hanya dikenakan sanksi ganti rugi yang berwujud kebendaan saja.
b. Adakalanya seseorang mempunyai ahliyatul ada’ yang kurang sempurna. Seperti anak yang mumayyiz, yakni anak yang sudah sanggup membedakan baik dan buruknya sesuatu perbuatan dan manfaat atau tidaknya perbuatan itu, akan tetapi pengetahuannyabelum berpengaruh (anak-anak yang berada dalam umur 7 tahun hingga 15 tahun).
Adapun sah atau tidaknya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz itu sanggup ditinjau dari 3 jenis perbuatan.
1) Dalam transaksi-transaksi yang mengandung manfaat, ibarat mendapatkan hibah dan shadaqah, maka tindakannya itu sah tanpa tergantung izin dari walinya.
2) Dalam transaksi-transaksi yang mengandung unsur perpindahan hak milik, maka tindakanya tidak sah, biarpun telah menerima izin dari walinya. Oleh itu apabila ia menunjukkan hibah, wasiat, waqaf dan memerdekakan budak, maka tindakan-tindakan yang dilakukannya yakni batal.
3) Dalam transaksi-transaksi yang disamping mengandung unsur yang bermanfaat juga mengandung unsur yang memindahkan hak milik, maka tindakannya yakni sah, hanya saja tindakan ini tergantung izin walinya. Artinya jikalau walinya mengizinkan, tindakannya yakni sah dan jikalau tidak mengizinkan, tindakannya yakni tidak sah. Misalnya seorang anak mumayyiz mengadakan perikatan jual beliatau sewa-menyewa dengan pihak-pihak tertentu. Jika walinya mengizinkan transaksi yang dilakukannya, maka sahlah perikatan tersebut, tetapi apabila walinya tidak mengizinkannya, perikatan ini menjadi batal.
c. Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang sempurna. Yaitu orang yang telah cukup umur lagi berakal.[16]
Pada prinsipnya kemampuan berbuat (ahliyatul ada’) seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal[,] dan kesempurnaan nalar seseorang itu diukur dengan kedewasaannya. Sebab kedewasaannya itu menunjukn bahwa akalnya telah sempurna.
Hukum islam memutuskan kedewasaan seseorang dengan dua jalan. Yakni:
1. Ditetapkan dengan adanya cirri-ciri khas kedewasaan. Seperti mensturuasi bagi orang perempuan atau ihtilam (keluar sperma) baik bagi pria maupun orang perempuan.
2. Ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu. Apabila cirri-ciri kedewasaan tersebut di atas tidak didapatkan pada seseorang, lantaran ia menerima gangguan jasmaniah, maka kedewasaan tersebut sanggup ditetapkan dengan terxapainya umur tertentu. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah beropini apabila seorang pria telah mencapai umur 18 tahun dan seorang perempuan telah mencapai umur 17 tahun, maka mereka yakni orang dewasa. Sedang ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memutuskan kedewasaan seorang pria maupun perempuan dengan tercapainya umur 15 tahun.
Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan pase-pase yang ditempuh oleh seseorang semenjak lahir hingga cukup umur ada 3 pase.[17]
a. Marhalah in’idamul-idrak (pese tidak mempunyai kesadaran). Pase ini dimulai semenjak seseorang dilahirkan hingga mencapai umur 7 tahun. Dalam marhalah ini seorang anak ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang anak dalam marhalah ini disebut ghairu mumayyiz. Sebenarnya ketamyizan seorang anak tidak sanggup dipasstikan dengan tercapainya umur ini. Sebab adakalanya seorang anak sudah mumayyiz sebelum ia mencapai umur 7 tahun dan adakalanya sehabis mencapai 7 tahun, mengingat kondisi jasmani dan iklim kawasan tempat anak itu berada. Namun demikian fuqaha memutuskan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyizan seorang anak demi keseragaman hukum.
Apabila anak ghairu mumayyiz melaksanakan tindak pidana, maka ia tidak dipidana. ia tidak dijatuhi sanksi qishash, bila membunuh dan tidak dipotong tangannya, bila mencuri dan pula dieksekusi ta’zir, bila ia melukai/menganiaya seseorang. Akan tetapi, dalam lapangan aturan perdata, ia tetap dimintai pertanggungjawaban, lewat walinya, bila ia menciptakan kerugian kepada orang lain. Walinyalah yang harus melaksanakan pertanggungjawaban perbuatan yang dilakuakan oleh anak ghair mumayyiz yang berada dibawah perwaliyannya. Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at, ibarat shalat, puasa dan haji, dipandang belum sah.
b. Marhalah al-idrakud-dhaif (pase kesadaran lemah). Pase ini dimulai semenjak seorang anak berumur 7 tahun hingga 15 tahun. Anak dalam marhalah ini disebut anak mumayyiz. Anak mumuyyiz tidak sanggup dimintai pertanggungjawaban pidana. Misalnya bila ia mencuri ia dihentikan dijatuhi sanksi potong tangan, bila ia membunuh tidak sanggup dijatuhi sanksi qishasj, akan tetapi ia sanggup dijatuhi pidana pengajaran, contohnya ditempatkan di suatu asrama yang special untuk belum dewasa bandel dan lain sebagainya. Dalam soal perdata ia disamakan dengan anak ghair mumayyiz.
Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at ibarat shalat, puasa dan haji, perbuatannya dipandang sah. Hanya saja kalau perbuatan tersebut rusak atau batal ia tidak wajib memperbaikinya.
c. Marhalah al-idraku-tamm (pase kesadaran sempurna). Pase ini dimulai semenjak seorang berumur 15 tahun hingga meninggal dunia. Dalam marhalah ini seseorang disebut dewasa dan lantaran ia sudah mempunyai pertanggungjawaban yang penuh, baik dalam lapangan aturan pidana, perdata maupun dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.[18]
2.6. Hal-Hal yang Menghilangkan Kemampuan Bertindak
Setiap insan itu mempunyai ahkiyatul wujub (kemampuan mendapatkan hak da kewajiban) baik ia pria maupun perempuan, baik cukup umur maupun belum dewasa, baik sehat maupun absurd dan biarpun ahliyatul wajub itu naqis (kurang sempurna) maupun kamil (sempurna). Juga telah dijelaskan bahwa setiap orang cukup umur itu mempunyai ahliyatul ada’ (kemampuan bertindak) yang sempurna. Akan tetapi ahliyatul ada’ ini kadang-kadang berhadapan dengan hal-hal yang sanggup menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali, atau menguranginya atau tidak sanggup menghilangkan atau menguranginya, tetapi hanya merubah sebagian aturan dan tindakan tersebut.
Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak, yang disebut ‘Awaridhul-ahliyah itu ada dua macam. Yakni “Samawiyah dan Kasabiyah.”
Yang disebut halangan samawiyah ialah hal-hal yang berada di luar perjuangan dan ikhtiyar manusia. Halangan samawiyah itu ada sepuluh macam. Yakni:
a. Keadaan belum dewasa,
b. Sakit gila,
c. Kurang akal,
d. Keadaan tidur,
e. Pingsan,
f. Lupa,
g. Sakit,
h. Menstruasi,
i. Nifas, dan
j. Meninggal dunia.[19]
Yang disebut halangan kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh insan yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan betindak. Halangan kasabiyah itu ada [tujuh] macam. Yakni:
a. Boros,
b. Mabuk,
c. Berpergian,
d. Lalai,
e. Bergurauan (main-main),
f. Bodah (tidak mengetahui) dan
g. Terpaksa (ikrah).[20]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara garis besar (umum) Ushul Fiqh tidak hanya membahs ihwal Al-Hakim (pembuat aturan Allah), Al-Hukmu (hukum) dan Mahkum Fih (perbuatan hukum) tetapi dalam ushul fiqh juga membahas Mahkum ‘Alaih (orang yang dibebani hukum). Mahkum ‘Alaih (orang yang dibebani hukum) tersebut mempunyai begitu banyak pengertian berdasarkan para ahlinya, yang tujuan ataupun maksud dari pengertian tersebut yakni sama yaitu “Orang Mukallaf yang perbuatannya dikenai/dibebani khitab Allah yang berupa aturan syara’.”
Seseorang gres dikatakan sebagai Mahkum ‘Alaih/Mukallaf apabila beliau sanggup memahami khitab-khitab pembebanan, mempunyai kemampuan mendapatkan beban sebagai ahliyatul wujub (kemampuan memerima hak dan kewajiban) maupun ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat).
3.2. Saran
Dalam memahami Islam, seseorang harus bisa memahami apa saja yang telah disyariatkan Allah swt dalam khitab-khitab-Nya baik itu berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan. Dan untuk memahami itu semua seseorang harus mengetahui pada posisi apakah ia berada, baik Mahkum ‘Alaih maupun Mahkum Fih.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Al Yasa’. Bahan Ajar Pengantar Ushul Fiqih.
Syafi’e, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Cv Pustaka Setia.
Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqh 1.Cetakan. Kedua Bandung: Pustaka Setia.
Effendi, Satria M. Zain. 2005. Ushul Fiqh. Cetakan. Kesatu Jakarta: Prenada Media.
Yahya, Mukhtar, Fatchur rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Cetakan. Bandung: Alma’arif.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Cetakan. Keempat Jakarta: Raja grafindo.
C.S.T. kansil. 1989. Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan. Kedelapan Jakarta: balai pustaka.
[3] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar Pengantar Ushul Fiqih, hal.6
[4] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar … hal. 10
[5] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar … hal. 10
[6] Syafi’e Rahmat Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Cv Pustaka Setia 2010 edisi keempat hal. 334
[7] Syafi’e Rahmat Ilmu Ushul … hal. 334
[8] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (cetakan keempat Jakarta: Raja grafindo,2011) hal.157
[9] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh … hal. 157
[11] C.S.T. kansil, Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (cetakan kedelapan Jakarta: balai pustaka,1989) hal.117
[13] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh … hal. 157-158
[14] Yahya Mukhtar, Fatchur rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam (Bandung: alma’arif), hal. 164-165
Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Mahkum 'Alaih, Mukallaf - Ushul Fiqh"
Posting Komentar