Makalah Anutan Qadariyah Dan Jabariyah


2.1 QADARIYAH
2.1.1 Pengertian Qadariyah
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa insan mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa insan terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.[1] Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will  dan  free act.[2]
Aliran-aliran ini beropini bahwa tiap-tiap orang yaitu pencipta bagi segala perbuatannya. Seseorang sanggup berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan insan dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa insan mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa insan terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[3]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah yaitu mereka yang menyampaikan bahwa insan mempunyai kebebasan berkehendak dan mempunyai kemampuan dalam melaksanakan perbuatan. Manusia bisa melaksanakan perbuatan, meliputi semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[4]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak sanggup diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi berdasarkan Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang menyampaikan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[5]
Menurut Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Nasrani yang masuk Islam di Iraq.[6] Dan berdasarkan al-Zahabi, Ma’bad yaitu seorang tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki daerah politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.[7] Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur dari Bani Umayyah yang populer kejam dan berdarah dingin.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[8]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai aba-aba menentang politik Bani Umayyah, lantaran itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan imbas Qadariyah sanggup dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, lantaran dalam perkembangan selanjutnya fatwa Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[9]
Setelah kematian Ma’bad, Ghailan terus berbagi paham qadariyah di Damaskus, tetapi ini tidak berjalan lancar lantaran mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru sehabis kematian ‘Umar ia melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia mati dieksekusi bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dilaksanakan sanksi tersebut diadakanlah debat antara Ghailan dan Awza’i yang eksklusif dihadiri oleh Hisyam mengenai paham yang dibawa Ghailan.[10]
Qadariyah yaitu sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.Mereka beropini bahwa tidak ada takdir, mereka mengingkari iman dengan qadha dan qadar. Mereka juga menyampaikan bahwa Allah tidak menentukan dan tidak mengetahui sebuah kasus sebelum terjadi, bahkan Allah gres mengetahui sebuah kasus sehabis terjadi.
Dalam kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan kasus Qadariyah disatukan dengan pembahasan wacana doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa iman qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah, lantaran faham ini juga dijadikan salah satu iman Mu’tazilah. Akibatnya, sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah lantaran kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa insan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[11]
2.1.2  Sejarah Timbulnya Aliran Qadariyah
a.      Pendapat Ahmad Amin
Kapan Qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada jago teologi yang menyampaikan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.  Ma’bad yaitu seorang atba’ tabi’i yang sanggup diandalkan dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghalian yaitu seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.[12]
b.      Pendapat Ibnu Nabatah
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, ibarat dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah yaitu orang Irak yang semula beragama kristen kemudian beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari oranginilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al Auza’i yaitu Susan.
c.       Pendapat W. Montgomery
Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui goresan pena Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa insan sanggup menentukan secara bebas menentukan antara berbuat baik atau buruk.
Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, berdasarkan watt, yaitu penganut Qadariyah yang hidup sehabis Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, ibarat dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah berguru pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal dari orang irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini biar orang-orang yang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagipula berdasarkan Kremer, ibarat dikutip Ignaz Goldziher , dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tenteng butir iman Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan dengan problem pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya kalau meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peniti sebelumnya pun belum setuju mengenai hal ini lantaran penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini di kuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama wacana kasus ini yaitu seorang kristen di irak yang telah masuk islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghallian. sebagian lain beropini bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang banyak dipekerjakan di istana-istana.

2.1.3        Pokok Pemikiran Aliran Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan kasus Qadariyah disatukan dengan pembahasan wacana doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa iman qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah lantaran faham ini juga menjadikan salah satu iman Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah lantaran kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa insan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.

Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi antara menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah membuat insan dan menjadikan baginya kekuatan biar sanggup melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, lantaran kalau Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu yaitu sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah itu yaitu suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat insan dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat insan yaitu sementara, berproses, bertambah dan berkurang, sanggup hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan wacana iman Qadariyah bahwa insan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melaksanakan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa insan hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa klarifikasi diatas, sanggup di pahami bahwa segala tingkah laris insan dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh lantaran itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh sanksi atas kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Faham takdir dalam pandang  Qadariyah  bukanlah dalam pengertian  takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang menyampaikan bahwa nasib insan telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, insan hanya bertindak berdasarkan nasib yang telah di tentukan semenjak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak azali, yaitu aturan yang dalam istilah Al-Quran yaitu sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan tanggapan nirwana kelak di alam abadi dan diberi ganjaran siksa dengan tanggapan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan final Tuhan. Sungguh tidak pantas, insan mendapatkan siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas impian dan kemampuannya sendiri.[13]
Secara alamiah, sesungguhnya insan telah mailiki takdir yang tidak sanggup diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak sanggup berbuat lain, kecuali mengikuti aturan alam. Misalnya, insan ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang bisa berenang dilautan lepas. Demikian juga insan tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang bisa mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi insan ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota badan lainnya yang sanggup berlatih sehingga sanggup tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota badan yang sanggup dilatih terampil. Manusia sanggup menjiplak apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga sanggup berenang di maritim lepas. Demikian juga insan juga sanggup membuat benda lain yang sanggup membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui yaitu sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas final kreativitas manusia?
Dengan pemahaman ibarat ini, kaum Qadariyah beropini bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan insan kepada perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah diantaranya adalah:
  1. Meletakkan posisi insan sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laris dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa insan mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Makara insan mendapatkan nirwana dan neraka lantaran kehendak mereka sendiri bukan lantaran taqdir. Paham ini merupakan fatwa terpenting dalam keyakinan qadariyah.[14]
  2. Kaum qadariyah menyampaikan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat Azaly, ibarat ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan menyampaikan bahwa Allah lebih dari satu.[15]
  3. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap aturan alam semesta semenjak zaman azali, yaitu aturan yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[16] ibarat matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laris manusia.
  4. Kaum qadariyah beropini bahwa nalar manusia  bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menimbulkan sesuatu menjadi baik lantaran diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk lantaran dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru menyesuaikan diri segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.[17]
Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman seputar kasus taqdir. Ada golongan qadariyah yang beropini bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari insan itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang beropini bahwa semua kebaikan dan keburukan penciptanya yaitu pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa sehabis Allah membuat makhluk, kemudian Allah membuat kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti sehabis Allah membuat alam semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman ibarat inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah yaitu majusi ummat ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan kalau mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi 'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,  disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai menyampaikan :
 القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض 
"Qadariyyah yaitu musuh Allah di dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini yaitu musuh mengenai taqdir Allah, lantaran taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan insan terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.    
Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya wacana kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dieksekusi mati".
Dari keterangan diatas sanggup disimpulkan bahwa pemahaman ibarat kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang mempunyai pendapat ibarat mereka. Allah yang Maha Suci,  tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba mempunyai impian dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan impian Allah. Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti kehendak dan impian yang memberi kebebasan yaitu Allah.
Berikut yaitu dalil-dalil yang menjadi dasar fatwa qodariyah:
1.      Q. S. Al-Kahfi ayat 29:
29. Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan kalau mereka meminta minum, pasti mereka akan diberi minum dengan air ibarat besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.[18]
2.  Q. S. Ar-Rad: 11
11. Bagi insan ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang sanggup menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[19]
3.   Q.S. An-nisa: 111
            111. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[20]


2.1.4 Tokoh-Tokoh dan Ajaran Aliran Qadariyah
         Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa insan sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan insan sendiri pulalah yang melaksanakan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
AI-Nazam salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa insan hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi insan hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melaksanakan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh sanksi atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib insan tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan semenjak zaman azali ibarat pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
Pembahasan fatwa ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; lantaran sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu fatwa Mu'tazilah. Sehingga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.
AI-Jubba'i mengatakan, bahwa manusialah yang memutuskan per­buatan-perbuatannya, insan berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan insan akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya kalau dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut:
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan insan perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, lantaran ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh lantaran itu, biar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan insan dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang dipakai oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut yaitu sebagai berikut:
Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
Artinya: Sesungguhnya ini yaitu peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.(Q.S AL-MUZAMMIL:19)
Artinya: Dan barangsiapa melaksanakan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S an-Nisa:111)
Ajaran al-Qadariyah dan banyak sekali argumen yang telah dipaparkan yang gres kemudian memberi kesan, bahwa insan dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan insan itu dibatasi oleh hal-hal yang tak sanggup dikuasai oleh insan sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, insan bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan insan tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan insan sendiri, umpama saja insan tiba ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap orang intinya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun, kini atau besok maut tiba juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, bekerjsama dibatasi oleh aturan alam. Pertama-tama insan tersusun dari materi. Materi yaitu terbatas, dan mau tak mau insan sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak sanggup dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada aturan alam itu. Api, nalurinya yaitu membakar. Manusia tak sanggup merubah naluri ini. Yang sanggup dibentuk insan yaitu membuat atau menyusun sesuatu yang tak sanggup dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia, bekerjsama terbatas dan terikat pada aturan alam. Kebebasan insan sebenarnya, hanyalah me-milih aturan alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, lantaran paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham, bahwa insan bebas sebebas-bebasnya dan sanggup melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak sanggup dilawan dan ditentang manusia.
3.1 JABARIYAH
3.1.1 Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination[21]. Dalam kamus Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir.[22] Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melaksanakan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah yaitu al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah yaitu menolak adanya perbuatan dari insan dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain yaitu insan mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[23] Sehingga makna secara umum yaitu bahwa perbuatan insan telah ditentukan oleh Qodo dan Qadar Tuhan.
Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa insan makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut Syahrastani, Jabariyah yaitu paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, insan tidak punya andil sama sekali dalam melaksanakan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah yaitu paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan insan telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya yaitu bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan insan tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini insan tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, lantaran tidak mempunyai kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah yaitu aliran insan menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[24]
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul semenjak zaman sobat dan masa Bani Umayyah.[25] Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan  pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian yaitu Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.[26] Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sanggup ditangkap dan kemudian dieksekusi mati di tahun 131 H[27]. Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.[28]
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini yaitu lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat yang lain menyampaikan bahwa paham ini diduga telah muncul semenjak sebelum agama Islam tiba ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memperlihatkan imbas besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata sanggup tidak memperlihatkan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon besar lengan berkuasa untuk menghadapi panasnya ekspresi dominan serta keringnya udara.[29]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[30]
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia yaitu sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam kejadian sejarah berikut ini:
  1. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam kasus takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan problem tersebut, biar terhindar dari kekeliruan penafsiran wacana ayat-ayat ilahi mengenai takdir.[31]
  2. Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang tertangkap tangan mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” ilahi telah menentukan saya mencuri” mendengar ucapan itu, umar murka sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh lantaran itu, umar memperlihatkan dua jenis sanksi kepada pencuri itu. Pertama, sanksi potong tangan. Kedua, sanksi dera lantaran memakai dalil takdir tuhan.[32]
  3. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya wacana qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula akad dan dan bahaya Allah, dan tidak ada kebanggaan bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
  4. Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan wacana al-Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya memperlihatkan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham jabariyah.
  5. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang menyampaikan bahwa kemunculannya diibatkan oleh imbas pemikiran asing, yaitu imbas agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit.[33]
3.1.2 Sejarah Timbulnya Aliran Jabariyah
            Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menimbulkan mereka tidak sanggup melaksanakan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sobat di seputar kasus qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi ia melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sobat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan saya mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sobat memandang iman kepada takdir sanggup menia-dakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini memperlihatkan bahwa takdir Tuhan melingkupi insan dalam segala keadaan. Akan tetapi, insan tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinyasesuatu, lantaran setiap sesuatu yang mempunyai lantaran berada di bawah kekuasaan insan (maqdurah)
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan wacana jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas sanggup dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul semenjak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu tumpuan pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada final pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya yaitu Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri mendapatkan paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang sanggup dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
Artinya: Mereka bekerjsama tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini terperinci sanggup dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya, mengapa hingga kini tumpuan pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah usang tiada.



3.1.3 Pokok Pemikiran Aliran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah sanggup dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.

Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh yaitu Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya yaitu bahwa insan tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm wacana keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya wacana nirwana dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya yaitu ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan yaitu makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan insan ibarat berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak sanggup dilihat dengan indera mata di akherat kelak.Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.

Ja'ad bin Dirham, menjelaskan wacana fatwa pokok dari Jabariyah yaitu Alquran yaitu makhluk dan sesuatu yang gres dan tidak sanggup disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, ibarat berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.

Dengan demikian fatwa Jabariyah yang ekstrim menyampaikan bahwa insan lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan insan tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh insan dalam perjalanan hidupnya yaitu merupakan ketentuan Allah.

Kedua, fatwa Jabariyah yang moderat yaitu Tuhan membuat perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi insan mempunyai pecahan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri insan mempunyai imbas untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak ibarat wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi insan memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham ibarat ini yaitu Husain bin Muhammad an-Najjar yang menyampaikan bahwa Tuhan membuat segala perbuatan manusia, tetapi insan mengambil pecahan atau tugas dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak sanggup dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan sanggup saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan sanggup ditimbulkan oleh dua pihak.[34]
Berikut yaitu dalil-dalil yang menjadi dasar fatwa Jabariyah:
1.      QS ash-Shaffat: 96
96. Padahal Allah-lah yang membuat kau dan apa yang kau perbuat itu".[35]
       2.  QS al-Anfal: 17
            17. Maka (yang sebenarnya) bukan kau yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kau yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[36]
       3. Q.S. al-Insan: 30
30. Dan kau tidak bisa (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah yaitu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[37]

3.1.4 Tokoh-Tokoh dan Ajaran Aliran Jabariyah
Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan wacana pokok problem ini menjadikan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan wacana soal ini menjadikan golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau sanggup diketemukan nalar pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah). Persoalan ini menjadikan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah.[38]
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah sanggup dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim yaitu pendapatnya bahwa segala perbuatan insan bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul lantaran qadha’ dan qadhar ilahi yang menghendaki demikian.[39]
Diantara pemuka jabariyah ekstrim yaitu sebagai berikut:
  1. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya yaitu Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan problem teologi yaitu sebagai berikut ini;
1.    Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
2.    Iman yaitu ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah.
3.    Kalam ilahi yaitu mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan insan ibarat berbicara, mendengar dan melihat.[40]
4.    Allah tidak mempunyai sifat-sifat azaly, lantaran hal ini akan menjadikan Allah serupa dengan makhluk.Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah.
5.    Bid’ah jabr. yaitu pernyataan bahwa insan tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya sama sekali, bahkan semua kehendaknya muncul lantaran dipaksa oleh Allah Swt.
6.    Bid’ah irja’, yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang siapa yang inkar di verbal maka hal tersebut tidak membuatnya kafir lantaran ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap lantaran ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan.[41]
  1. Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan wacana teologi. Ia yaitu seorang maulana dari bani Hakam dan tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut;
1.    Al-quran itu yaitu mahluk, oleh lantaran itu dia baru. Sesuatu yang gres itu tidak sanggup disifatka kepada Allah.
2.    Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, ibarat berbicara, melihat, dan mendengar.
3.    Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat menyampaikan bahwa Tuhan memang membuat perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi insan mempunyai pecahan dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat yaitu sebagai berikut;
  1. An-Najjar, nama lengkapnya yaitu husain bin muhammad an-najar, para pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Najjariyyah juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok dalam aliran Jabariyah.[42] Diantara pendapat-pendapatnya yaitu sebagai berikut;
1.      Tuhan membuat segala perbuatan manusia, tetapi insan mengambil pecahan atau tugas dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.[43]
2.      Tuhan tidak sanggup dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa ilahi dapt saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga insan sanggup melihat tuhan.[44]
  1. Adh-Dhirar, nama lengkapnya yaitu Dhirar Bin Amr. Pendapatnya wacana perbuatan insan sama dengan husein an-najjar, bahwa insan tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, insan mempunyai pecahan dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbuatannya. Mengenai ru’yat ilahi diakhirat, Dhirar menyampaikan bahwa Tuhan sanggup dilihat diakhirat melalui indera keenam.[45]
4.1 ANALISIS ALIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
Tuhan yaitu pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan insan itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan hingga di manakah insan sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap insan untuk mengatur hidupnya? Ataukah insan terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa insan itu berkehendak dan melaksanakan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah yaitu antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka beropini bahwa insan tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Berbeda dengan Jabariyah. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan yaitu mengenai iktiqad Jabariyah  wacana penyerahan totalitas dalam Qada dan Qadar kepada Tuhan. Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Seolah-olah Dia  itu jahat dan zalim kepada umat-Nya.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memperlihatkan peranan apapun kepada insan dalam membuat perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak sanggup diterima apabila kita menyampaikan bahwa Allah SWT melaksanakan segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak mempunyai arti lain kecuali terbinanya sistem lantaran akhir umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akhir pada ketika adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus menyampaikan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani menyampaikan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh lantaran itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan ibarat ini biar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas wacana indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan insan yang secara eksklusif maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menjadikan ketenangan tersendiri sehabis adanya perjuangan ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam.Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, ibarat di Indonesia, yang mayoritas yaitu paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu sanggup dicermati pada suatu kejadian yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng menyampaikan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan insan pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa imbas masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melaksanakan pemeriksaan sangat kecil, lantaran semua kejadian dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat pemeriksaan amat besar, lantaran semua kejadian yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) insan harus dipertanggungjawabkan oleh insan melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain insan dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga yaitu makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi insan demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.


BAB III
PENUTUP



A.     KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan klarifikasi di atas sanggup kita simpulkan bahwa:
  1. Qadariyah yaitu sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.
  2. Jabariyah yaitu paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, insan tidak punya andil sama sekali dalam melaksanakan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
  3. Takdir yaitu sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun iman.
  4. Agama kita yaitu agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Semoga makalah ini sanggup bermanfaat kita, terutama dalam memahami paham-paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dan lain lain. Oleh lantaran itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Kami mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan. Terima kasih atas kerjasama dan saran dari pembaca semua. Wassalam.



DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari Mabahits fi Ulum al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.

























[1] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 43
[2] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
[4] AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. 2008. Banjarmasin: Antasari Press, hal. 68.
[5] Ibid,.
[6] Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah, hal. 255
[7] Ibid,.
[8] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
[9] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, 1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 74
[10] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 34.
[11] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 38.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
[13] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 73.
[14] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
[15] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 38.
[16] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
[17] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47
[18] Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
[19] Ibid,.
[20] Ibid,.
[21] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33.
[22] Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia, hal. 234 dan 443.
[23] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 63.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
[25] Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet ke-4, hal. 239.
[26] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian jago sejarah menyampaikan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[27] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
[28] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 132.
[29] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 64.
[30] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
[31] Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam  Islam. 1987. Jakarta: Beunneubi Cipta. hal 27-29.
[32] Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, hal. 15.
[33] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali, hal. 133.
[35] Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
[36] Ibid,.
[37] Ibid,.
[38] M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna, hal. 58.
[39] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 286-287.
[40] Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit Wijaya, hal. 102.
[41] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 35.
[42] Ibid, 75.
[43] Ibid, 89.
[44] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
[45] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 78.

Belum ada Komentar untuk "Makalah Anutan Qadariyah Dan Jabariyah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel