Landasan Aturan Alternative Penyelesaian Sengketa.

Aps telah diakui oleh undang-undang No. 4 tahun 2004 wacana kekuasaan kehakiman pasal 3: “tidak terdapat keharusan bagi masyarakat untuk menuntaskan suatu sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak sanggup menentukan menuntaskan suatu sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak sanggup menentukan menuntaskan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian dan arbitrase”.[1] Dan Undang-Undang no. 48 tahun 2009 wacana pokok-pokok kekuasaan kehakiman yaitu: Pasal 58: “Upaya penyelesaian sengketa perdata sanggup dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 59: “(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibentuk secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (2) Putusan arbitrase bersifat selesai dan memiliki kekuatan aturan tetap dan mengikat para pihak. (3) Dalam hal para pihak tidak melakukan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketan. Pasal 60: “(1) Alternatif penyelesaian sengketa merupakan forum penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mekanisme yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,  konsiliasi, atau evaluasi ahli. (2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) balasannya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. (3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat selesai dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 61:  “Ketentuan mengenai arbitrase dan   sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal b 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.”[2].
Setelah sekian usang bergulat mengenai perlunya perubahan mengenai anutan arbitrase yang sesuai dan sanggup diterima, baik nasional aupun internasional, serta perlunya perlembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui perangkat perundang-undangan, pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 30 tahun 1999 wacana arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa. Model arbitrase yang diatur dalam undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yaitu cara penyelesaian suatu sengketa  di luar  pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Akan tetapi, tidak semua sengketa sanggup diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa mengenai hak yang berdasarkan aturan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan mereka. Sebelumnya Arbitrase  juga diatur dalam keppres no 34 tahun 1981 yang meratifikasi New York  Convention on the recognation and enforcement of foreign arbital award mengatur: “setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang mencantumkan klausul arbitrase, akan meniadakan hak dari pengadilan untuk menyelidiki sengketa yang terjadi berdasarkan perjanjian tersebut”.[3]




[1]http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%204%20Tahun%202004%20tentang%20Kekuasaan%20Kehakiman.pdf.
[2] http://junaidioke.files.wordpress.com/2011/05/uu_48_2009_kekuasaan_kehakiman_by_junaidi.pdf
[3] Nevi Hasnita,. “Alternative Dispute Resolution”, Makalah (Banda Aceh: 2013) Hlm: 4

Belum ada Komentar untuk "Landasan Aturan Alternative Penyelesaian Sengketa."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel